Here to share knowledge, information and entertainment. I believe only the smart people who can take advantage of this opportunity. May be useful, and don’t forget to leave your comments and suggestions to build this page. Thank you d^_^b

Sabtu, 04 Agustus 2012

KURIKULUM, PENGEMBANGAN KARAKTER, BIMBINGAN, EVALUASI, PERAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN MADRASAH

BAB I
PENDAHULUAN




Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan jaman, kini madrasah taka lagi dipadang sebelah mata, terbukti madrasah mampu bersaing dengna sekolah umum. Tentu saja madrasah juga berpedoman kepada kurikulum. Kurikulum dijadikan acuan belajar untuk para peserta didik berupa proses dan kompetensi yang harus dimiliki. Selanjutnya madrasah juga melakukan pengembangan karakter pesereta didik. Ada beberapa karakteristik peserta didik di usia MI yang perlu diketahui para pendidik , agar lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya ditingkat MI. Seorang pendidik harus dapat menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan keadaanpeserta didiknya, maka sangat penting bagi seorang pendidik mengetahui karakteristik siswanya. Selain karakteristik yang perlu diperhatikan juga adalah kebutuhan peserta didik. pemahaman terhadap karakteristik peserta didik . Secara ideal, dalam rangka pencapaian perkembangan diri siswa, sekolah dan pendidik seyogyanya dapat menyediakan dan memenuhi berbagai kebutuhan peserta didiknya dalam rangka pencapaian perkembangan diri peserta didik. Madrasah senantiasa melakukan bimbingan dan penyuluhan agar proses pembelajaran semakin mendapat peningkatan, selain itu system evaluasi yang diterapkan dengan tujuan agar dapat mengukur kemampuan peserta didik, sejauh mana peserta didik memahami materi yang diajarkan.
Madrasah sebagai salah satu organisasi pendidikan keberadaannya tidak bisa lepas dari peran serta masyarakat dalam mewujudkan visi, misi serta tujuannya. Sehubungan dengan itu, maka bagaimana madrasah itu mampu menjalin hubungan baik yang bersifat timbal balik dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pembentukan komite majelis madrasah merupakan langkah strategis dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah.



          Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan, diperlukan wadah yang dapat mengakomodasi pandangan, aspirasi, dan potensi masyarakat, sekaligus dapat menjamin terwujudnya demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan. Salah satu wadah tersebut adalah dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan komite madrasah di tingkat satuan pendidikan.

          Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga madrasah (pendidik, peserta didik, karyawan) dan masyarakat (orang tua pesertadidik, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap madrasah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan madrasah. Tentu saja pelibatan warga madrasah dalam penyelenggaraan Madrasah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga madrasah dan masyarakat dalam penyelenggaraan Madrasah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, dan demokrasi pendidikan



Fokus kajian
Berdasarkan latar belakang diatas,maka masalah ini difokuskan pada antara lain:

1.    Bagaimana konsep pengembangan kurikulum MI Sunan Gunung Jati Malang?
2.    Bagaimana implementasi pengembangan kurikulum MI Sunan Gunung Jati Malang?
3.    Bagaimana cara mengembangkna karakteristik peserta didik sesuai dengan yang diharapkan ?
4.    Apa saja Teknik-teknik bimbingan dan  penyuluhan yang diterapkan oleh MI Sunan Gunung Jati Malang?
5.    Apa saja bentuk sistem evaluasi yang diterapkan oleh MI Sunan Gunung Jati Malang?
6.    Bagaimana bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dan orang tua dalam mendukung keberhasilan program-program MI Sunan Gunung Jati Malang?
7.    Bagaimana  upaya-upaya peningkatan partisipasi masyarakat dan orang tua untuk mendukung program MI Sunan Gunung Jati Malang?


Tujuan observasi
Berangkat dari teori diatas, maka penelitian ini bertujuan antara lain untuk mendeskripsikan dan menganalisis :
1.    Konsep pengembangan kurikulum MI Sunan Gunung Jati Malang
2.    Implementasi pengembangan kurikulum MI Sunan Gunung Jati Malang
3.    Cara mengembangka karakteristik peserta didik sesuai dengan yang diharapkan
4.    Teknik-teknik bimbingan dan  penyuluhan yang diterapkan oleh MI Sunan Gunung Jati Malang
5.    Bentuk sistem evaluasi yang diterapkan oleh MI Sunan Gunung Jati Malang?
6.    Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dan orang tua dalam mendukung keberhasilan program-program MI Sunan Gunung Jati Malang
7.    Upaya-upaya peningkatan partisipasi masyarakat dan orang tua untuk   mendukung program MI Sunan Gunung Jati Malang


Manfaat observasi
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menemukan 2 manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis
1.    Manfaat teoritis
Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak cukup dengan pembenahan di bidang kurikulum saja, tetapi harus juga diikuti dengan peningkatan mutu pendidik. Oleh karena itu, keberadaan pendidik  yang profesional tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pendidik yang profesional adalah pendidik yang memiliki kompetensi yang dapat menunjang tugasnya.
Teori yang dikemukakan dalam penelitian  ini diharapkan menjadi bahan kajian lebih lanjut dalam pengembangan kompetensi professional pendidik guna melaksanakan tugas sebagai pengembang kurikulum yang pada gilirannya diharapkan dapat menuju pelaksanaan proses belajar mengajar yang optimal.

2. Manfaat praktis
Setelah penelitian ini selesai diharapkan dapat memberikan sumbangan yang kongkrit bagi upaya peningkatan mutu pendidikan yang diharapkan pada tingkat dasar, terutama kualitas kinerja pendidik dalam mengembangkan kurikulum di lembaga pendidikan.
Secara spesifik hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
a)    Bagi peneliti
 Untuk menambah wawasan pengetahuan tentang pengembangan kurikulum, karakteristik peserta didik, bimbingan dan penyuluhan. System evaluasi dan keterlbatan masyarakat dalam pengembangan madrasah sehingga dapat mengaplikasikannya

b)   Bagi Madrasah
  Diharapkan sebagai acuan pengembangan sekaligus evaluasi utamanya berkaitan dengan keefektifan kinerja yayasan pendidikan dalam mengembangkan potensi yang terkait dengan pengembangan kurikulum, bimbingan dan penyuluhan. System evaluasi dan keterlbatan masyarakat dalam pengembangan madrasah

                                                                 BAB II
PENYAJIAN DATA

2.1  Kurikulum madrasah

Perkataan kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang dari satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamusnya tahun 1856. Disamping penggunaan “kurikulum”  semula dalam bidang olah raga, kemudian dipakai dalam bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah di perguruan tinggi.

Di Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi popular sejak tahun lima puluhan yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di America serikat. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah “rencana pelajaran” pada hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran. Dalam teori praktik, pengertian kurikulum yang lama sudah banyak ditinggalkan. Para ahli-ahli pendidikan kebanyakan memberi arti atau istilah yang lebih luas.
Perubahan ini terjadi karena ketidakpuasan dengan hasil pendidikan di sekolah dan ingin selalu memperbaiki. Selain itu yang mempengaruhi perubahan dari makna atau arti kurikulum adalah perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat mengubah perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Disamping itu banyak timbul pendapat-pendapat baru, tentang hakikat dan perkembangan anak, cara belajar, tentang masyarakat dan ilmu pengetahuan yang memaksa diadakannya perubahan dalam kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah proses yang tak hentinya, yang harus dilakukan secara kontinu.Namun, mengubah kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah, praktek pendidikan disekolah senantiasa jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan teori kurikulum. Bukan suatu yang aneh. Bila suatu teori kurikulum baru menjadi kenyataan setelah 50 sampai 75 tahun kemudian.
Dengan bertambahnya tanggung jawab sekolah timbulah berbagai macam definisi kurikulum, sehingga semakin sukar memastikan apakah sebenarnya kurikulum.  Akhirnya setiap pendidikan, setiap guru harus menentukan sendiri apakah kurikulum itu bagi dirinya. Pengertian yang dianut oleh seseorang akan mempengaruhi kegiatan belajar mengajar dalam kelas maupun diluar kelas.

Dibawah ini beberapa kurikulum menurut beberapa kurikulum menurut beberapa ahli kurikulum.

1.      J. Galen Taylor dan William M. Alexander dalam buku curriculum planning for better teaching and learning (1956). Menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut “segala usaha untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah atau diluar sekolah termasuk kurikulum.

2.      Harold B. Albertycs. Dalam reorganizing the high school curriculum (1965). Memandang kurikulum sebagai “all school”. Seperti halnya dengan definisi saylor dan Alexander, kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan diluar kelas, yang berada dibawah tanggung jawab sekolah.

3.      B. Othanel Smith, w.o. Stanley, dan J. Harjan Shores. Memandang kurikulum sebagai “a sequence of potential experience set up in the school for the purpose of diseliping ehildren and youth in group ways of thinking and acthing”. Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka  dapat berfikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.

4.      William B Ragan, dalam buku modern elementary curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut:

Ragan menggunakan kurikulum dalam arti luas, yang meliputi seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman peserta didik dibawah  tanggung jawab lembaga pendidikan.

Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan social antara pendidik dan peserta didik, metode pembelajaran, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.

5.      J. Lloyd Trump dan Dalmes F. Miller dalam bukunya secondary school improfement (1973). Juga menganut definisi kurikulum yang luas, menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasi dan hal-hal structural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.

6.      Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum. Dalam bukunya changing the curriculum : a social process (1946) ia mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang melayani dan dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik, dan personalia. Definisi Miel tentang kurikulum  sangat luas yang mencakup yang meliputi bukan hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap, aspirasi, cita-cita serta norma-norma melainkan juga pribadi pendidik, kepala madrasah serta seluruh pegawai madrasah.

7.      Edward A, Krug dalam secondary school curriculum (1960) menunjukan pendirian yang terbatas tapi realities tentang kurikulum, kurikulum dilihatnya sebagai cita-cita dan usaha untuk mencapai tujuan persekolahan. Ia membedakan tugas lembaga pendidikan mengenai perkembangan peserta didik dan tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama, masyarakat, dan lain-lainnya.

Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan sebagai bertikut:

1)      Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembangan kurikulum, biasanya dalam suatu panitia.

2)      Kurikulum yang pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh madrasah untuk mencapai tujuannya.

3)      Kurikulum dapat pula dipamdang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari peserta didik, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.

4)      Kurikulum sebagai pengalaman peserta didik. Ketiga pandangan di atas berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang secara  actual menjadi kenyataan pada setial peserta didik.

B. Program Kurikulum Pendidikan

1. Rencana Pelajaran 1947

Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.

Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

2. Rencana Pelajaran Terurai 1952

Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang pendidik mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah pendidik MI Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.

Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

3. Kurikulum 1968

Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.

Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada peserta didik di setiap jenjang pendidikan.

4. Kurikulum 1975

Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.

Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Pendidik dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

5. Kurikulum 1984

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi peserta didik ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).

Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di madrasah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran peserta didik berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok pendidik tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.

6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999

Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.

Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.


7. Kurikulum 2004

Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi peserta didik, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi peserta didik.

Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Para pendidik pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)

8. KTSP 2006

Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh peserta didik hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah pendidik lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi peserta didik serta kondisi madrasah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis dalam bentuk praktek pembelajaran.

Adapun kurikulum yang digunakan di MI Sunan Gunung Jati adalah kurikulum 2006


2.2 Pengembangan karakter peserta didik
Karakter merupakan sesuatu yang jarang ditemukan pada masyarakat Indonesia. Dilihat dari banyaknya ketidakadilan serta kebohongan-kebohongan yang dilakukan masyarakat kita. Bahkan ditingkat yang lebih tinggi sendiri, yaitu pemerintah yang tak mengenal lagi sebuah karakter diri sebagai makhluk Tuhan dan sosial. Menurut Prof. Suyanto Ph.D,karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Potensi karakter yang baik telah dimiliki tiap manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini. Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah-natural) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan-natural). Pendidikan merupakan salah satu wadah dalam menunjang pembentukan karakter tiap individu. Sekolah Dasar adalah merupakan pendidikan awal penanaman karakter anak dalam perkembangan dirinya. Tak bisa kita mungkiri bahwa banyaknya generasi di Indonesia, yang tidak mengenal dirinya sebagai bangsa Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, budaya, dan kultur sosial yang berbeda.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran atau amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Meskipun semua pihak bertanggungjawab atas pendidikan karakter calon generasi penerus bangsa (anak-anak), namun keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Untuk membentuk karakter anak, keluarga harus memenuhi tiga syarat dasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Yaitu,maternal bonding, rasa aman, stimulasi fisik dan mental. Selain itu, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya juga menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak di rumah. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter yang baik.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran pendidik, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru (didengar dan dicontoh), dipertaruhkan. Karena pendidik adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Kegagalan pendidik dalam menumbuhkan karakter anak didiknya, disebabkan seorang pendidik  yang tak mampu memperlihatkan dan menujukkan karakter sebagai seorang yang patut didengar dan diikuti. Sebagai seorang pendidik tidak hanya sekedar menyampaikan materi ajar kepada peserta didik. Namun, yang lebih mendasar dan mutlak adalah bagaimana seorang guru dapat menjadi inspirasi dan suri tauladan yang dapat merubah karakter anak didiknya menjadi manusia yang mengenal potensi dan karakternya sebagai makhluk Tuhan dan sosial.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia.Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Jika karakter anak telah terbentuk sejak masa kecil mulai dari lingkungan sosial sampai MI, maka generasi masyarakat Indonesia akan menjadi manusia-manusia yang berkarakter yang dapat menjadi penerus bangsa demi terciptanya masyarakat yang adil, jujur, bertartanggung jawab sehingga tercipta masyarakat yang aman dan tentram sebuah suatu negara.Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Memahami Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), sikap (afektive), dan tindakan (psicomotoric). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Karakteristik Perkembangan anak usia kelas awal MI

Anak yang berada di kelas awal MI adalah anak yang berada pada rentangan usia dini. Masa usia dini ini merupakan masa perkembangan anak yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat penting bagi kehidupannya. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara optimal.
Berdasarkan hasil pengamatan di MI Sunan Gunung Jati Malang, Karakteristik perkembangan anak pada kelas satu, dua dan tiga MI pertumbuhan fisiknya telah mencapai kematangan, mereka telah mampu mengontrol tubuh dan keseimbangannya. Mereka telah dapat melompat dengan kaki secara bergantian, dapat mengendarai sepeda roda dua, dapat menangkap bola dan telah berkembang koordinasi tangan dan mata untuk dapat memegang pensil maupun memegang gunting. Selain itu, perkembangan anak dari sisi sosial, terutama anak yang berada pada usia kelas awal MI antara lain mereka telah dapat menunjukkan keakuannya tentang jenis kelaminnya, telah mulai berkompetisi dengan teman sebaya, mempunyai sahabat, telah mampu berbagi, dan mandiri.
Perkembangan anak usia 6-8 tahun dari sisi emosi antara lain anak telah dapat mengekspresikan reaksi terhadap orang lain, telah dapat mengontrol emosi, sudah mampu berpisah dengan orang tua dan telah mulai belajar tentang konsep nilai misalnya benar dan salah. Untuk perkembangan kecerdasannya anak usia kelas awal MI ditunjukkan dengan kemampuannya dalam melakukan seriasi, mengelompokkan obyek, berminat terhadap angka dan tulisan, meningkatnya perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami sebab akibat dan berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan waktu.

Pembelajaran Tematik-Keuntungan Penggunaan

Sesuai dengan tahapan karakteristik perkembangan anak, karakteristik cara anak belajar, konsep belajar dan belajar bermakna, maka kegiatan pembelajaran bagi anak kelas awal MI sebaiknya dilakukan dengan pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik adalah pembelajaran tepadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman belajar bermakna kepada peserta didik. Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Poerwadarminta, 1983).

Dengan tema diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di antaranya:

(1) Peserta didik mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu;
(2) Peserta didik mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar matapelajaran dalam tema yang sama;
(3) Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan;
 (4) Kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan matapelajaran lain dengan pengalaman pribadi peserta didik;
(5) Peserta didik mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas;
(6) Peserta didik lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari matapelajaran lain;
7) Pendidik dapat menghemat waktu karena beberapa mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.
Upaya yang bisa dilakukan untuk pembinaan karakter peserta didik di sekolah di
antaranya adalah dengan memaksimalkan fungsi mata pelajaran pendidikan agama di
sekolah. Pendidikan agama dapat dijadikan basis untuk pembinaan karakter peserta didik tersebut. Pendidik agama bersama-sama para pendidik yang lain dapat merancang berbagai aktivitas sehari-hari bagi peserta didik di sekolah yang diwarnai nilai-nilai ajaran agama.
Dengan cara ini, peserta didik diharapkan terbiasa untuk melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan yang pada akhirnya dapat membentuk karakternya.
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan: (1) bagaimanakah
model-model pembinaan karakter peserta didik MI yang berbasis pada pendidikan
agama sekarang ini? dan (2) bagaimanakah model pembinaan karakter yang
seharusnya dikembangkan bagi peserta didik MI yang berbasis pada pendidikan
agama.Di samping untuk mengungkap permasalahan tersebut,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat baik secara
teoritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan, dan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk pembinaan karakter peserta didik di sekolah-sekolah MI pada umumnya.

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini diselenggarakan madrasah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di MI perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik MI mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh warga sekolah, meliputi para peserta didik, pendidik, karyawan administrasi, dan pimpinan madrasah menjadi sasaran program ini. Madrasah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan MI memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya madrasah. Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan MI, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
1.    Mengamalkan ajaran agama islam
2.    Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3.    Menunjukkan sikap percaya diri;
4.    Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5.    Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6.    Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
7.    Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8.    Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9.    Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran madrasah, kriteria pencapaian pendidikan  karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar madrasah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.

2.3 Bimbingan dan penyuluhan
Bimbingan dan penyuluhan merupakan terjemahan dari istilah “guidance” yang berart bimbingan dan “Counseling” yang berarti penyuluhan (Walgito, 1995 : 1). Sesuai dengan istilahnya, maka bimbingan dapat diartikan secara umum sebagai suatu bantuan atau pertolongan, namun tidak setiap bantuan atau pertolongan dapat diartikan sebagaiu bimbingan.  Bentuk bimbingan yang dimaksud membutuhkan syarat-syarat tertentu. Untuk dapat memperoleh pengertian yang lebih jelas di bawah ini penulis akan mengemukakan beberapa pengertian dari beberapa ahli sebagai berikut :
Menurut Smith (1999:94) mengatakan bahwa “bimbingan adalah proses layanan yang diberikan kepada individu guna  membantu mereka memperolaeh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam membuat pilihan-pilihan, rencana-rencana dan interpretasi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan baik”.
Adapun maksud bimbingan di atas adalah suatu proses pemberian layanan dan bimbingan sehingga mereka mempu membuat pilihan dan rencana dalam arti mampu membuat dan menentukan kebijakan,arah dan tujuan hidup mereka dan merefeksikannya dalam bentuk tindakan atau perbuatan dalam kehidupan sehari-hari mampu menyesuaikan diri dengan linkungannya secara efektif.
Sedangkan menurut Surya (1995:2) mengatakan bahwa bimbingan adalah “Proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis, dari konselor kepada klien sehingga tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, dan penerimaam diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal”. Jadi bantuan yang diberikan hendaknya dilakukan secara terus menerus sebab proses pendidikan pada manusia berlangsung seumur hidup.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan (arahan) yang diberiakn oleh konselor kepada kliennya baik secara individu maupun secara kelompok baik anak-anak dan dilakukan secara sadar, terencana dan sistimatis sehingga mereka dapat mengembangkan kemampuan dirinya dan mandiri, memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan bisa  memilih keputusan dalam  menentukan arah dan tujuan hidupnya, memahami dan mengenal dirinya serta mampu beradaptasi dengan lingkungan hidupnya secara baik berdasarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Sedangkan pengertian penyuluhan berasal dari bahasa Inggris yaitu counseling yang berarti perkembangan, pemberian nasehat, penyuluhan penerangan atau informal (Abu Ahmadi, 1991 : 21). Menurut Jones (2001:20) Mengatakan bahwa penyuluhan adalah “membicarakan masalah orang lain dan biasanya orang yang diajak bicara memiliki pengalaman, pemgertian dan kemampuan yang tidak dimiliki orang yang ingin membicarakan permasalahannya dengan oranglain yang sedang dihadapinnya”. Sedangkan menurut James F. Adams dalam Jumhur (1986 : 29)  bahwa penyuluhan adalah penilaian timbal balik antara 2 individu dimana yang seorang membantu yang lain supaya ia dapat lebih baik memahami dirinya itu dan pada waktu yang akan datang.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyuluhan adalah merupakan suatu aktifitas wawancara yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah dalam rangka untuk membicarakan dan memecahkan masalah yang sedang dihadapi dan memberikan bantuan kepada mereka, sehingga pada akhirnya bermuara pada teratasi masalah yang dihadapi oleh klien  dan dapat beradaptasi dengan baik dan efektif dengan lingkungan hidupnya.
Tujuan Bimbingan dan Penyuluhan
Secara umum tujuan bimbingan dan penyuluhan keseluruhan program pendidikan disekolah adalah untuk membantu peserta didik untuk mencapai tahap perkembangan yang optimal baik secara akademis, psikologis, maupun sosial. (Rohani, 199:4). Sedangkan menurut Anur Rahim (2001:35) mengatakan bahwa  tujuan bimbingan dan penyuluhan secara garis besar adalah membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirant.
Secara akademis bimbingan dan penyuluhan bertujuan agar peserta didik memperolerh kesesuaian dan keseimbangan (keproposionalan) antara kemampuan akdemis denga jurusan atau program studi yang dipilihnya sehingga apa yang diinginkan  dapat tercapai. Sedangkan secara psikologis bimbingan dan penyuluhan bertujuan agar peserta didik mencapai tahap perkembangan yang di tandai dengan sikap adannya kematangan dan kemandirian baik dalam siakap, mengambil keputusan maupun dalam menentukan arah dan tujuan hidupnya. Demikian pula secara sosial bimbingan dan penyuluhan bertujuan agar peserta didik dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungannya dan memiliki keterampilan hidup (life skill) yang memadai. Sehingga tercapai kemandirian dan kesejahteraan hidup pribadi baik lahir maupun batin.

Secara operasional tujuan layanan bimbingan dan penyuluhan di MI adalah sebagai berikut :
a.    Membantu perkembangan individu.
b.    Mencegah munculnya masalah peserta didik.
c.    Membantu mengatasi masalah peserta didik, memperbaiki diri dari gangguan psikologis
Dari beberapa uraian di atas dapt dipahami bahwa tujuan bimbingan dan penyuluhan untuk membantu kelangsungan perkembangan individu (peserta didik) dan mencegah timbulnya masalah yang menghambat perkembangan peserta didik. Selain itu juga untuk memperbaiki kebiasaan buruk serta sifat tidak terpuji pada diri anak didik. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan bimbingan dan penyuluhan pada intinya adalah lebih dititik beratkan pada bantuan psikologis dengan tujuan untuk memperbaiki dan membenarkan kebiasaan atau prilaku yang tidak terpuji dalam mewujudkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
1.    Tujuan pelayanan dan penyuluhan bagi peserta didik yaitu :
a.    Dalam aspek tugas, perkembangan pribadi sosial layanan bimbingan dan penyuluhan bertujuan membantu siswa agar:
1.    Memiliki kesadaran diri yaitu menggambarkan penampilan dan mengenal kekhususan yang ada pada dirinya
2.    Dapat menggambarkan sikap positif, seperti menggambarkan orang-orang yang mereka senangi
3.    Membantu pilihan secara sehat
4.    Mampu menghargai orang lain
5.    Memiliki rasa tanggung jawab
6.    Mengembangkan keterampilan hubungan antar pribadi
7.    Dapat menyelesaikan konflik
8.    Dapat membantu keputusan secara efektif


b.    Dalam asek tugas perkembangan karier layanan bimbingan dan penyuluhan membantu peserta didik agar :
1.    Mampu membentuk identitas karier dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan di dalam lingkungan kerja
2.    Mampu merencanakan masa depan
3.    Dapat membentuk pola-pola karier, yaitu kecenderungan arah karier
4.    Mengenal keterampilan, kemampuan dan mi
c.    Dalam aspek perkembangan belajar, layanan bimbingan dan penyuluhan membantu peserta didik agar:
1.    Dapat melaksanakan keterampilan atau teknik belajar secara efektif
2.    Dapat menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikanMampu belajar secara efektif
3.    Memiliki kemampuan dalam menghadapi evaluasi atau ujian
2.    Tujuan layanan bimbingan penyuluhan pendidikan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan seluruh peserta didik:
a.    Membantu dalam memperoleh usaha pendidikan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan seluruh peserta didik
b.    Membantu dalam memperoleh usaha memahami perbedaan individual dan individualisme pengajaran dalam mencapai penyusunan antara keunikan individu dengan pendidikan.
c.    Merangsang dan mendorong penggunaan teknik oleh guru seluruh staf
d.    Membantu dalam mengenal pentingya keterlibatan diri dalam keseluruhan program pendidikan.
e.    Membantu pendidik dengan hubungannya dengan peserta didik (Djumhur, 1998 : 31).
Demikian uraian tentang tujuan pelayanan bimbingan dan penyuluhan bagi siswa dan guru di sekolah, berhasil tidaknya bimbingan dan penyuluhan atau para staf lainnya.


Teknik-teknik Bimbingan dan Penyuluhan

Teknik merupakan suatu cara yang tidak dilakukan oleh pendidik bimbingan dan penyuluhan dalam mengatasi kesulitan belajar yang dihadapi, oleh karena itu dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan belajar di sekolah harus menggunakan teknik yang tepat, agar kegiatan belajar mengajar berlangsung efektif dan efisien.
Adapun teknik yang digunakan dalam bimbingan dan penyuluhan antara lain pada MI Sunan Gunung Jati adalah teknik tes dan teknik non tes. Teknik tes melengkapi teknik non tes. Yang di maksud adalah serangkaian pengumpulan data peserta didik dengan mengguanakan tes standar misalnya, tes intelejensi, tes bakat, tes minat, kreativitas dan lain sebagainya
Sedangkan menurut Shetzer (20001 : 69) menyebutkan teknik non tes meliputi observasi, anecdotal, recod, skala penilaian, catatan comulatif, teknik sosiometrik, dan studi kasus, pendekatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan merupakan salah satu bentuk teknik layanan dalam bimbingan dan penyuluhan.
Adapun cara khusus dalam melayani klien sesuai dengan kebutuhan dalam bimbingan dan penyuluhan dibagi dalam empat teknik. Yaitu secara penyuluhan individu, bimbingan penyuluhan kelompok, bimbingan lapangan dan bimbingan klasikal.
a.    Bimbingan kelompok
Bimbingan kelompok merupakan salah satu cara dalam melaksanakan kegiatan layanan bimbingan dan penyuluhan untuk membantu memechkan masalah klien. Segala permaslahan kelompok akan di bawa ke kelompok lain untuk dipecahkan secar bersama-sama, dengan mengarah kepada permaslahan yang ada pada diri peserta didik (Musari, 2001:72)
Menurut Korhin (2001:72) menemukan bahwa masalah klinis (kelompok) adalah masalah yang lebih bersifat hubungan antara pribadi sosial. Dengan demikian kelompok mejadi lebih bermanfaat dalam melayani klinis (bimbingan kelompok) atau masalah pribadi. dari kedua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bimbingan kelompok adalah bimbingan yang di berikan kepada klien secara berkelompok dimana setiap masalah yang dihadapi di kekelompok dan dibahas secara bersama-sama.
b.    Penyuluhan individu
Penyuluhan individu ini merupakan salah satu cara pemberian bantuan secara perorangan dan pelaksanaanya dilakukan dengan cara face to face atau tatap muka langsung dengan klien. Cara ini mengungkapkan berbagai masalah yang sangat kompleks (mendalam) pada diri klien atau masalah klien yang sangat sulit terungkap di luar bimbingan dan penyuluhan. Selain itu juga dapat disimpulkan bahwa penyuluhan individu merupakan bantuan yang di berikan secara berhadapan langsung dengan klien atau secara perorangan.
Secara umum dalam wawancara konseling dikenal 3 teknik pendekatan yaitu directive counseling non directive counseling efective counseling (Ketut Sukardi, 1983 : 107)
1.    Directive Counseling (Teknik Langsung)
 Directive Counseling adalah teknik konseling dimana yang paling berperan dalam konselor, konselor berusaha mengarahkan klien sesuai dengan masalahnya” (Sukardi, 1983 : 108).
Dengan teknik pendekatan ini dalam proses konseling dimana yang paling berperan adalah konselor, dalam hal ini konselor lebih banyak mengambil inisiatif dalam proses konseling sehingga klien tinggal menerima apa yang dikemukakan oleh konselor.
2.    Non directive counseling (Teknik Tidak Langsung)
“Teknik non Directive Counseling merupakan kebalikan dari teknik directive counseling karena memegang peranan penting dalam teknik ini adalah klien atau orang yang punya masalah bukan konselor” (Sukardi, 1983 : 110).
Oleh karena itu dalam proses konseling ini aktivitas sebagian besar diletakkan di pundak klien itu sendiri, dalam memecahkan masalahnya, maka klien itu sendiri didorong oleh konselor untuk mencari dan menermukan cara atau teknik yang terbaik dalam memecahkan masalah.
3.    Efective counseling (Campuran)
Teknik ini merupakan campuran dari kedua teknik di atas. Dengan demikian dalam teknik campuran ini seorang konselor menggunakan pendekatan atau merupakan penggabungan unsur-unsur teknik langsung maupun tidak langsung.
c.    Bimbingan lapangan
Bimbingan lapangan adalah bantuan yang diberikan kepada peserta didik apabila melakukan kegiatan di luar kelas atau diluar ruangan dalam rangka untuk mengakses obyek-obyek tertentu yang menjadi isi layanan (Prayitno, 2004:9)
Adapun maksud bimbingan lapangan dalam upaya mengakses obyek tertentu disini adalah menerima atau mendapatkan suasana baru diluar kelas yang menjadi isi layanan. Jadi dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa bimbingan lapangan pada dasarnya adalah untuk membantu peserta didik memperoleh pengalaman dari pegetahuan baru di luar kelas.
d.    Bimbingan klasikal
Bimbingan klasikal adalah bantuan yang dibrikan kepada peserta didik yang pelaksanaanya dilakukan didalam kelas (Prayitno, 2004:9).  Adapun obyek yang dibahas dalam kelas ini seperti contoh, gambar, tampilan vidio dan lain sebagainya yang kemudian didiskusikan dan dicermati dengan baik. Jadi bimbingan klasikal merupakan bantuan yang diberiakan di dalam kelas berupa kegiatan yang kemudian di bahas secara terbuka dan bebas oleh semua peserta yang ada di dalam kelas tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa bimbingan klasikal merupakan bimbingan yang diberikan di dalam kelas dalam bentuk diskusi (bertukan pikiran) untuk mendapat pengalaman dan pengetahuan. Inilah sebagian kecil strategi atau cara-cara dalam memberiakan bantuan dan layanan dalam bimbingan dan layanan dalam bimbingan dan penyuluhan.
2.4 Sistem evaluasi
Penilaian merupakan langkah penting dalam manajemen program bimbingan. Tanpa penilaian tidak mungkin kita dapat mengetahui dan mengidentifikasi keberhasilan pelaksanaan program bimbingan yang telah direncanakan. Penilaian program bimbingan merupakan usaha untuk menilai sejauh mana pelaksanaan program itu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain bahwa keberhasilan program dalam pencapaian tujuan merupakan suatu kondisi yang hendak dilihat lewat kegiatan penilaian.
Sehubungan dengan penilaian ini, Shertzer dan Stone (1966) mengemukakan pendapatnya: “Evaluation consist of making systematic judgements of the relative effectiveness with which goals are attained in relation to special standards“.
Evaluasi ini dapat pula diartikan sebagai proses pengumpulan informasi (data) untuk mengetahui efektivitas (keterlaksanaan dan ketercapaian) kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan dalam upaya mengambil keputusan. Pengertian lain dari evaluasi ini adalah suatu usaha mendapatkan berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari perkembangan sikap dan perilaku, atau tugas-tugas perkembangan para peserta didik melalui program kegiatan yang telah dilaksanakan.
Penilaian kegiatan bimbingan di madrasah adalah segala upaya, tindakan atau proses untuk menentukan derajat kualitas kemajuan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program bimbingan di madrasah dengan mengacu pada kriteria atau patokan-patokan tertentu sesuai dengan program bimbingan yang dilaksanakan.
Kriteria atau patokan yang dipakai untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program layanan bimbingan dan konseling di sekolah adalah mengacu pada terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan peserta didik dan pihak-pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung berperan membantu siswa memperoleh perubahan perilaku dan pribadi ke arah yang lebih baik.
Dalam keseluruhan kegiatan layanan bimbingan dan konseling, penilaian diperlukan untuk memperoleh umpan balik terhadap keefektivan layanan bimbingan yang telah dilaksanakan. Dengan informasi ini dapat diketahui sampai sejauh mana derajat keberhasilan kegiatan layanan bimbingan. Berdasarkan informasi ini dapat ditetapkan langkah-langkah tindak lanjut untuk memperbaiki dan mengembangkan program selanjutnya.Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui keterlaksanaan kegiatan dan ketercapaian tujuan dari program yang telah ditetapkan.
Adapun fungsi evaluasi program bimbingan dan konseling di sekolah adalah:
1.    Memberikan umpan balik (feed back) kepada pembimbing konselor) untuk memperbaiki atau mengembangkan program bimbingan dan konseling.
2.    Memberikan informasi kepada pihak pimpinan mardasah, pendidikmata pelajaran, dan orang tua peserta didik tentang perkembangan sikap dan perilaku, atau tingkat ketercapaian tugas-tugas perkembangan peserta didik, agar secara bersinergi atau berkolaborasi meningkatkan kualitas implementasi program BK di sekolah.
Aspek-aspek yang Dievaluasi
Ada dua macam aspek kegiatan penilaian program kegiatan bimbinganpada MI Sunan Gunung Jati, yaitu penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian proses dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana keefektivan layanan bimbingan dilihat dari prosesnya, sedangkan penilaian hasil dimaksudkan untuk memperoleh informasi keefektivan layanan bimbingan dilihat dari hasilnya.
Aspek yang dinilai baik proses maupun hasil antara lain:
1.    Kesesuaian antara program dengan pelaksanaan;
2.    Keterlaksanaan program;
3.    Hambatan-hambatan yang dijumpai;
4.    Dampak layanan bimbingan terhadap kegiatan belajar mengajar;
5.    Respon peserta didik, personil madrasah, orang tua, dan masyarakat terhadap layanan bimbingan;
Perubahan kemajuan peserta didik dilihat dari pencapaian tujuan layanan bimbingan, pencapaian tugas-tugas perkembangan, dan hasil belajar; dan keberhasilan peserta didik setelah menamatkan sekolah baik pada studi lanjutan ataupun pada kehidupannya di masyarakat.

Apabila dilihat dari sifat evaluasi, evaluasi bimbingan dan konseling lebih bersifat “penilaian dalam proses” yang dapat dilakukan dengan cara berikut ini.
1.    Mengamati partisipasi dan aktivitas peserta didik dalam kegiatan layanan bimbingan.
2.    Mengungkapkan pemahaman peserta didik atas bahan-bahan yang disajikan atau pemahaman/pendalaman peserta didik  atas masalah yang dialaminya.
3.    Mengungkapkan kegunaan layanan bagi peserta didik dan perolehan peserta didik sebagai hasil dari partisipasi/aktivitasnya dalam kegiatan layanan bimbingan.
4.    Mengungkapkan minat peserta didik tentang perlunya layanan bimbingan lebih lanjut.
5.    Mengamati perkembangan peserta didik dari waktu ke waktu (butir ini terutama dilakukan dalam kegiatan layanan bimbingan yang berkesinambungan).
6.    Mengungkapkan kelancaran proses dan suasana penyelenggaraan kegiatan layanan.
Berbeda dengan hasil evaluasi pengajaran yang pada umumnya berbentuk angka atau skor, maka hasil evaluasi bimbingan dan konseling berupa deskripsi tentang aspek-aspek yang dievaluasi (seperti partisipasi/aktivitas dan pemahaman peserta didik; kegunaan layanan menurut peserta didik; perolehan peserta didik dari layanan; dan minat peserta didik terhadap layanan lebih lanjut; perkembangan peserta didik dari waktu ke waktu; perolehan guru pembimbing; komitmen pihak-pihak terkait; serta kelancaran dan suasana penyelenggaraan kegiatan). Deskripsi tersebut mencerminkan sejauh mana proses penyelenggaraan layanan/pendukung memberikan sesuatu yang berharga bagi kemajuan dan perkembangan dan/atau memberikan bahan atau kemudahan untuk kegiatan layanan terhadap peserta didik.

Langkah-langkah Evaluasi
Dalam melaksanakan evaluasi program ditempuh langkah-langkah berikut.
1.    Merumuskan masalah atau beberapa pertanyaan. Karena tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh data yang diperlukan untuk mengambil keputusan, maka konselor perlu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hal-hal yang akan dievaluasi. Pertanyaan-pertanyaan itu pada dasarnya terkait dengan dua aspek pokok yang dievaluasi yaitu : (1) tingkat keterlaksanaan program (aspek proses), dan (2) tingkat ketercapaian tujuan program (aspek hasil).
2.    Mengembangkan atau menyusun instrumen pengumpul data. Untuk memperoleh data yang diperlukan, yaitu mengenai tingkat keterlaksanaan dan ketercapaian program, maka konselor perlu menyusun instrumen yang relevan dengan kedua aspek tersebut. Instrumen itu diantaranya inventori, angket, pedoman wawancara, pedoman observasi, dan studi dokumentasi.
3.    Mengumpulkan dan menganalisis data. Setelah data diperoleh maka data itu dianalisis, yaitu menelaah tentang program apa saja yang telah dan belum dilaksanakan, serta tujuan mana saja yang telah dan belum tercapai.
4.    Melakukan tindak lanjut (Follow Up). Berdasarkan temuan yang diperoleh, maka dapat dilakukan kegiatan tindak lanjut. Kegiatan ini dapat meliputi dua kegiatan, yaitu (1) memperbaiki hal-hal yang dipandang lemah, kurang tepat, atau kurang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai, dan (2) mengembangkan program, dengan cara merubah atau menambah beberapa hal yang dipandang dapat meningkatkan kualitas atau efektivitas program.
Penilaian di tingkat sekolah merupakan tanggung jawab kepala sekolah yang dibantu oleh pembimbing khusus dan personel sekolah lainnya. Di samping itu penilaian kegiatan bimbingan dilakukan juga oleh pejabat yang berwenang (pengawas bimbingan dan konseling) dari instansi yang lebih tinggi (Departemen Pendidikan Nasional Kota atau kabupaten).
Sumber informasi untuk keperluan penilaian ini antara lain peserta didik, kepala madrasah, para wali kelas, pendidik mata pelajaran, orang tua, tokoh masyarakat, para pejabat depdikbud, organisasi profesi bimbingan, sekolah lanjutan, dan sebagainya. Penilaian dilakukan dengan menggunakan berbagai cara dan alat seperti wawancara, observasi, studi dokumentasi, angket, tes, analisis hasil kerja siswa, dan sebagainya.
Penilaian perlu diprogramkan secara sistematis dan terpadu. Kegiatan penilaian baik mengenai proses maupun hasil perlu dianalisis untuk kemudian dijadikan dasar dalam tindak lanjut untuk perbaikan dan pengembangan program layanan bimbingan. Dengan dilakukan penilaian secara komprehensif, jelas dan cermat maka diperoleh data atau informasi tentang proses dan hasil seluruh kegiatan bimbingan dan konseling. Data dan informasi ini dapat dijadikan bahan untuk pertanggungjawaban/ akuntabiltas pelaksanaan program bimbingan dan konseling.
Pelaksanaan kegiatan evaluasi diri kinerja madrasah.

No.
Jenis kegiatan evaluasi diri
1
Melakukan evaluasi terhadap kinerja madrasah
2
Menetapkan prioritas indikator untuk mengukur, menilai kinerja dan melakukan perbaikan
3
Evaluasi proses pembelajaran secara periodik sekurang-kurangnya 2x dalam setahun
4
Evaluasi program kerja tahunan secara periodik sekurang-kurangnya 2x dalam setahun
5
Evaluasi pada madrasah dilakukan secara periodik berdasar pada data dan informasi yang sahih

Pelaksanaan program evaluasi kinerja pendidik dan tenaga kependidikan.

No.
Jenis kegiatan evaluasi kinerja pendidik dan tenaga kependidikan
1
Evaluasi kesesuaian penugasan dengan keahlian
2
Evaluasi keseimbangan beban kerja
3
Evaluasi kinerja pendidik dan tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas
4
Evaluasi pencapaian prestasi pendidik dan tenaga kependidikan


2.5 Keterlibatan masyarakat 
Madrasah yang baik adalah madrasah yang senantiasa melibatkan dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengembangan proses pembelajaran. Karena disadarai atau tidak sebuah lembaga pendidikan khususnya madarasah pastilah hidup berdampingan dengan masyarakat. Suatu madrasah juga membutuhkan partisipasi dari masyarakat dimana lembaga pendidikan tersebut bernaung.Partisipasi tersebut sangat membantu dan mendukung keberhasilan program pendidikan madrasah
Istilah partisipasi mengandung arti keikutsertaan. Menurut Kamus Besar Indonesia (1989:679), partisipasi adalah “sejumlah orang yang turut berperan dalam suatu kegiatan; keikutsertaan dan peran serta”.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa unsur penting yang tercakup dalam pengertian partisipasi, diantaranya: Pertama, dalam partisipasi yang ditelaah bukan hanya keikutsertaan secara fisik tetapi juga fikiran dan perasaan (mental dan emosional). Kedua, partisipasi dapat digunakan untuk memotivasi orang-orang yang menyumbangkan kemampuannya kepada situasi kelompok sehingga daya kemampuan berfikir serta inisiatifnya dapat timbul dan diarahkan kepada tujuan-tujuan kelompok. Ketiga, dalam partisipasi mengandung pengertian orang untuk kut serta dan bertanggungjawab dalam kegiatan-kegiatan organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa makin tinggi rasa keterlibatan psikologis individu dengan tugas yang diberikan kepadanya, semakin tinggi pula rasa tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan tugas tersebut.
Beberapa hal yang berhubungan dengan partisipasi orang tua dan masyarakat sebagai berikut:
1. Partisipasi masyarakat merupakan satu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat
2. Masyarakat akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki program tersebut.
3. Partisipasi merupakan hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan.
Sangat penting bagi madrasah untuk menjalankan peranan kepemimpinan yang aktif dalam menggalakkan program-program sekolah melalui peran serta aktif orang tua dan masyarakat. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengupayakan partisipasi orang tua dan masyarakat terhadap keberhasilan program sekolah, diantaranya:                 
                                                       
  1. Menjalin Komunikasi yang Efektif dengan Orang Tua dan Masyarakat         


  Partisipasi orang tua dan masyarakat akan tumbuh jika orang tua dan masyarakat juga merasakan manfaat dari keikutsertaanya dalam program sekolah. Manfaat dapat diartikan luas, termasuk rasa diperhatikan dan rasa puas karena dapat menyumbangkan kemampuannya bagi kepentingan sekolah. Jadi prinsip menumbuhkan hubungan dengan masyarakat adalah saling memberikan kepuasan. Salah satu jalan penting untuk membina hubungan dengan masyarakat adalah menetapkan komunikasi yang efektif. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk membangun komunikasi dengan orang tua dan masyarakat, yaitu:
a. Mengidentifikasi orang-orang kunci, yaitu orang-orang yang mampu mempengaruhi teman lain. Orang-orang itulah yang tahap pertama dihubungi, diajak konsultasi, dan diminta bantuannya untuk menarik orang lain berpartisipasi dalam program sekolah. Tokoh-tokoh semacam itu dapat berasal dari orang tua peserta didik atau warga masyarakat yang “dituakan” atau “informal leaders”, pejabat, tokoh bisnis, dan profesi lainnya.
b. Melibatkan orang-orang kunci tersebut dalam kegiatan sekolah, khususnya yang sesuai dengan minatnya. Misalnya tokoh seni dapat dilibatkan dalam pembinaan kesenian di sekolah. Orang yang hobi olahraga dapat dilibatkan dalam program olahraga sekolah. Selanjutnya tokoh-tokoh tersebut diperankan sebagai mediator dengan masyarakat luas.
c. Memilih saat yang tepat, misalnya pelibatan masyarakat yang hobi olahraga dikaitkan dengan adanya PON atau sejenis yaitu saat minat olahraga di masyarakat sedang naik. Pelibatan tokoh dan masyarakat yang peduli terhadap kebersihan/kesehatan dimulai pada hari Kesehatan Nasional misalnya.

2. Melibatkan Masyarakat dan Orang Tua dalam Program Sekolah

Pepatah “Tak senang jika tak kenal” juga berlaku dalam hal ini. Oleh karena itu sekolah harus mengenalkan program dan kegiatannya kepada masyarakat. Dalam program tersebut harus tampak manfaat yang diperoleh masyarakat jika membantu program sekolah. Untuk maksud diatas, sekolah dapat melakukan:
a. Melaksanakan program-program kemasyarakatan, misalnya kebersihan lingkungan, mambantu lalu lintas di sekitar sekolah, dan sebagainya. Program sederhana semacam ini dapat menumbuhkan simpati masyarakat.
b. Mengadakan open house yang memberi kesempatan masyarakat luas untuk mengetahui program dan kegiatan sekolah. Tentu saja dalam kesempatan semacam itu sekolah perlu menonjolkan program-program yang menarik minat masyarakat.
c. Mengadakan buletin sekolah atau majalah atau lembar informasi yang secara berkala memuat kegiatan dan program sekolah, untuk diinformasikan kepada masyarakat.
d. Mengundang tokoh untuk menjadi pembicara atau pembina suatu program sekolah. Misalnya mengundang dokter yang tinggal di sekitar sekolah atau orang tua untuk menjadi pembicara atau pembina program kesehatan sekolah.
e. Membuat program kerja sama sekolah dengan masyarakat, misalnya perayaan hari-hari nasional maupun keagamaan

3. Memberdayakan Dewan Sekolah

Keberadaan Dewan Sekolah akan menjadi penentu dalam pelaksanaan otonomi pendidikan di sekolah. Melalui Dewan Sekolah orang tua dan masyarakat ikut merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan pendidikan di sekolah. Untuk meningkatkan komitmen peran serta masyarakat dalam menjunjang pendidikan, termasuk dari dunia usaha, perlu dilakukan antara lain dengan upaya sebagai berikut: a. Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang pendidikan terutama ditingkat sekolah. Melalui otonomi, pengambilan kesempatan semacam itu sekolah perlu menonjolkan program-program yang menarik minat masyarakat.

c. Mengadakan buletin sekolah atau majalah atau lembar informasi yang secara berkala memuat kegiatan dan program sekolah, untuk diinformasikan kepada masyarakat.
d. Mengundang tokoh untuk menjadi pembicara atau pembina suatu program sekolah. Misalnya mengundang dokter yang tinggal di sekitar sekolah atau orang tua untuk menjadi pembicara atau pembina program kesehatan sekolah.
e. Membuat program kerja sama sekolah dengan masyarakat, misalnya perayaan hari-hari nasional maupun keagamaan

Peran Masyarakat
Untuk menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
Ada beberapa bentuk peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan otonomi dalam bidang pendidikan, antara lain :
1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah dan luar madrasah.
2. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
3. Pengadaan dan pemberian tenaga ahli (pendidik tamu, peneliti, dan sebagainya).
4. Pengadaan / penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh sekolah.
5. Pengadaan bantuan dana ; wakaf, hibah, pinjaman, beasiswa dan sebagainya.
6. Pengadaan dan pemberian bantuan ruang, gedung, tanah dan sebagainya.
7. Pemberian bantuan buku-buku pelajaran.
8. Pemberian kesempatan untuk magang / latihan kerja.
9. Pemberian bantuan managemen pendidikan.
10. Bantuan pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikan.
11. Kerjasama dalam penelitian dan sebagainya.
Dengan peran masyarakat secara aktif dalam dunia pendidikan, diharapkan program desentralisasi / otonomi pendidikan ini akan berhasil. Kata kuncinya adalah adanya keterbukaan, kejujuran, saling mempercayai dan profesionalitas. Tanpa itu maka program ini justru akan menjadi ‘malapetaka’, artinya sumbisidi pemerintah sudah tidak ada, sementara peran masyarakat juga tidak muncul, masing-masing saling melempar tanggungjawab, antara pemerintah, masyarakat dan orang tua.
Salah satu sarana untuk berperan serta dalam meningkatkan kualitas pendidikan agama adalah masyarakat dapat berperan aktif di Komite Madrasah sebagaimana diatur dalam pasal 56 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa masyarakat dapat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Termasuk di dalamnya bidang pendidikan agama.
Peran serta masyakat untuk meningkatkan pendidikan agama juga dapat dilakukan dengan mendorong dan mendukung semua kebijakan madrasah yang terkait peningkatan mutu pendidikan agama, baik melalui program kurikuler, misalnya, dengan adanya jam tambahan khusus jam pelajaran agama (Membaca Alqur’an setiap hari pada awal pembelajaran, membiasakan berbusana Muslim di Sekolah umum. Dan juga dapat mendukung dalam program ekstrakurikuler, seperti Studi Islam Intensif, Kuliah Dluha, Pesantren Kilat, dll.
Diakui atau tidak, lembaga pendidikan agama (Islam), secara umum masih dianggap lembaga pendidikan nomor dua jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Dan hal ini pula yang menjadi keprihatinan para pengamat pendidikan Islam. Maka salah satu peran serta aktif masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan agama adalah dengan mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu.
Untuk menjadikan lembaga pendidikan agama dan keagamaan (seperti Madrasah) yang bermutu, maka menurut Afifuddin[21] aspek-aspek suatu sekolah/madrasahnya dipersyaratkan mempunyai standar mutu pula, antara lain aspek administrasi/manajemen, Aspek Ketenagaan, Aspek Kesiswaan, Aspek Kultur Belajar, Aspek Sarana dan Prasarana. Namun demikian, saat ini telah bermunculan beberapa sekolah/madrasah bercorak keagamaan/Ke-Islaman yang telah dianggap berbasis mutu.
Salah satu titik kelemahan lembaga pendidikan agama/keagamaan yang mayoritas dikelola swasta, antara lain masih kuatnya manajemen patriarki-ashabiyah. Maksudnya bahwa para pengelola biasanya terdiri dari keluarga, dari mulai ketua Yayasan, Pembina, Pengawas, Pengurus, Kepala madrasah, pendidik, dan lainnya adalah mayoritas terdiri dari unsur keluarga, sehingga yang didahulukan adalah unsur kebersamaan, dan terkadang mengabaikan mutu dan profesionalitas. Misalnya yang banyak terjadi adalah antara Kepala Madrasah dengan Bendahara sekolah adalah suami isteri, gurunya juga adalah anak dari kepala Madrasah tersebut, dan kerabat lainnya.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsi-nya unsur-unsur manajemen secara baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-progam sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Karena akuntabilitas dan realibilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen lembaga pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan profesionalitas.
Penghayatan dan pengamalan keagamaan umat Islam dalam masa dua atau tiga dekade terakhir ini jauh lebih maju, semarak dan mantap dibandingkan dengan masa sebelumnya atau dimasa orde lama. Betapapun masih ada kekurangan dan hambatan, program pendidikan agama telah memberikan hasil dan dampak positif bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan generasi muda dan umat Islam Indonesia.
Kesadaran masyarakat untuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan sedini mungkin kepada anak-anak didik kita makin tumbuh dan merata. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin maraknya kegiatan “pendidikan agama”. Melalui media masa, munculnya pengajian-pengajian, majlis ta’lim, madrasah diniyah, pesantren kilat, taman pendidikan Al Qur’an, dan lain-lain.Gerakan masyarakat dalam kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan meningkat lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita carikan jalan keluar.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kurikulum madrasah
Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.
Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.

        Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.

         Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para ahli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.

        Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.

PENGERTIAN KURIKULUM

        Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas".

        Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para ahli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para ahli didasarkan pada isu berikut ini:
  • filosofi kurikulum
  • ruang lingkup komponen kurikulum
  • polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
  • posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum

        Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.

         Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".

        Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.

        Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para ahli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993)
, Olivia (1997)
         Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.
Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya.       Pendidikan haruslah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.

POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN

        Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.

        Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.

         Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.

        Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.

         Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
         Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.

         Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.

        Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
  1. peningkatan iman dan takwa;
  2. peningkatan akhlak mulia;
  3. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
  4. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
  5. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
  6. tuntutan dunia kerja;
  7. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
  8. agama;
  9. dinamika perkembangan global; dan
  10. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).

        Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.

        Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.

         Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa.
Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.

PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM

        Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve. Berbagai factor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.

        Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulumberdasarkan tujuan yang terbatas.

3.2 Pengembangan karakter peserta didik
  Konsep Karakter dan Pendidikan Karakter

Secara etimologis, kata karakter bisa berarti tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, atau watak (Tim
Redaksi Tesaurus, 2008: 229). Orang berkarakter berarti orang yang memiliki watak,
kepribadian, budi pekerti, atau akhlak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir(Koesoema, 2007: 80).
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona.
Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a
morally good way.” Selanjutnya ia menambahkan, “Character so conceived has three
interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991:
51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang
kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar4
benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian
pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku
(behaviors) dan keterampilan (skills).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak,
sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi
seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan
dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalampikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,hokum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konseppendidikan karakter (character education).
Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas
Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang
berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating
for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikankarakter menurut, Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahuikebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukankebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51). Pendidikan karakter tidak sekedarmengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itupendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehinggasiswa paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Pendidikan karakterini membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.Pembudayaan karakter (akhlak) mulia perlu dilakukan dan terwujudnya karakter
(akhlak) mulia yang merupakan tujuan akhir dari suatu proses pendidikan sangat
didambakan oleh setiap lembaga yang menyelenggarakan proses pendidikan. Budaya
atau kultur yang ada di lembaga, baik sekolah, kampus, maupun yang lain, berperan
penting dalam membangun akhlak mulia di kalangan sivitas akademika dan para
karyawannya. Karena itu, lembaga pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab
untuk melakukan pendidikan akhlak (pendidikan moral) bagi para peserta didik dan
juga membangun kultur akhlak mulia bagi masyarakatnya.

Untuk merealisasikan akhlak mulia dalam kehidupan setiap orang, maka
pembudayaan akhlak mulia menjadi suatu hal yang niscaya. Di sekolah atau lembaga
pendidikan, upaya ini dilakukan melalui pemberian mata pelajaran pendidikan akhlak,
pendidikan moral, pendidikan etika, atau pendidikan karakter. Akhir-akhir ini di
Indonesia misi ini diemban oleh dua mata pelajaran pokok, yakni Pendidikan Agama
dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran ini nampaknya belum
dianggap mampu mengantarkan peserta didik memiliki akhlak mulia seperti yang
diharapkan, sehingga sejak 2003 melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
2003 dan dipertegas dengan dikeluarkannya PP 19 tahun 2005 tentang Standar NasionalPendidikan, pemerintah menetapkan, setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakansecara holistik sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaranmempengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik (PP 19 2005 pasal 6 ayat 4).

2. Pembinaan Karakter Peserta didik di Sekolah

Pembinaan karakter peserta didik di sekolah berarti berbagai upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam rangka pembentukan karakter peserta didik. Istilah yang identik dengan pembinaan adalah pembentukan atau pembangunan. Terkait dengan sekolah, sekaranglagi digalakkan pembentukan kultur sekolah. Salah satu kultur yang dipilih sekolah adalah kultur akhlak mulia. Dari sinilah muncul istilah pembentukan kultur akhlak mulia di sekolah.
Pengalaman Nabi Muhammad membangun masyarakat Arab hingga menjadi
manusia yang berakhlak mulia (masyarakat madani) memakan waktu yang cukup
panjang. Pembentukan ini dimulai dari membangun aqidah mereka selama kurang lebihtiga belas tahun, yakni ketika Nabi masih berdomisili di Makkah. Selanjutnya selamakurang lebih sepuluh tahun Nabi melanjutkan pembentukan akhlak mereka denganmengajarkan syariah (hukum Islam) untuk membekali ibadah dan muamalah merekasehari-hari. Dengan modal aqidah dan syariah serta didukung dengan keteladanan sikapdan perilaku Nabi, masyarakat madani (yang berakhlak mulia) berhasil dibangun Nabiyang kemudian terus berlanjut pada masa-masa selanjutnya sepeninggal Nabi.Michele Borba juga menawarkan pola atau model untuk pembudayaan akhlakmulia. Michele Borba menggunakan istilah membangun kecerdasan moral. Dia menulissebuah buku dengan judul Building Moral Intelligence: The Seven Essential Vitues ThatKids to Do The Right Thing, 2001 (Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh KebajikanUtama Agar Anak Bermoral Tinggi, 2008). Kecerdasan moral, menurut Michele Borba(2008: 4), adalah kemampuan seseorang untuk memahami hal yang benar dan yang salah, yakni memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinantersebut, sehingga ia bersikap benar dan terhormat. adalah sifat-sifat utama yang dapat mengantarkan seseorang menjadi baik hati, berkarakter kuat, dan menjadi warga negarayang baik.

Bagaimana cara menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak-anak
disimpulkannya menjadi tujuh cara yang harus dilakukan anak untuk menumbuknan
kebajikan utama (karakter yang baik), yaitu empati, hati nurani, kontrol diri, rasa
hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang
dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun. Meskipun sasaran
buku ini adalah anak-anak, namun bukan berarti tidak berlaku untuk orang dewasa,
termasuk para siswa di MI hingga MA. Dengan kata lain tujuh kebajikan yang
ditawarkan oleh Michele Borba ini berlaku untuk siapa pun dalam rangka membangun
kecerdasan moralnya.
Dalam salah satu bukunya, 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools
and Youth Settings (1995), Howard Kirschenbaum menguraikan 100 cara untuk bisa
meningkatkan nilai dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah yang bisa
dikelompokkan ke dalam lima metode, yaitu: 1) inculcating values and morality
(penanaman nilai-nilai dan moralitas); 2) modeling values and morality (pemodelan
nilai-nilai dan moralitas); 3) facilitating values and morality (memfasilitasi nilai-nilai
dan moralitas); 4) skills for value development and moral literacy (ketrampilan untuk
pengembangan nilai dan literasi moral; dan 5) developing a values education program
(mengembangkan program pendidikan nilai). Dari pendapat Kirschenbaum ini maka
guru pendidikan agama termasuk para pendidik yang lain bersama-sama dengan sekolahperlu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pembinaan karakter peserta didik melalui pemaksimalan peran pendidikanagama. Pendidik agama bersama-sama guru-guru lain perlu merancang pembelajaran agamadi kelas dan di luar kelas yang dapat memfasilitasi peserta didik agar dapat membiasakankarakter atau akhlak mulia.
Sementara itu, Darmiyati Zuchdi menekankan pada empat hal dalam rangka
penanaman nilai yang bermuara pada terbentuknya karakter (akhlak) mulia, yaitu
inkulkasi nilai, keteladanan nilai, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan akademik
dan sosial (Zuchdi, 2008: 46-50). Darmiyati menambahkan, untuk ketercapaian
program pendidikan nilai atau pembinaan karakter perlu diikuti oleh adanya evaluasi
nilai. Evaluasi harus dilakukan secara akurat dengan pengamatan yang relatif lama dan
secara terus-menerut (Zuchdi, 2008: 55). Dengan memadukan berbagai metode dan
strategi seperti tersebut dalam pembelajaran pendidikan agama di sekolah, maka
karakter peserta didik dapat dibina dan diupayakan sehingga peserta didik menjadi berkarakter seperti yang diharapkan.

 Pengembangan Karakter Berbasis Pendidikan Agama di MI

Program pengembangan karakter berbasis pendidikan agama yang dikembangkandi masing-masing sekolah semuanya berpijak dari visi dan misi yang dikembangkanoleh sekolah. Secara umum, sekolah-sekolah yang menjadi sampel penelitian mencantumkan secara langsung ataupun tidak langsung pengembangan karaktertersebut pada visi dan misi sekolah. Dari visi dan misi tersebut kemudian dijabarkan kedalam berbagai program untuk menunjang keberhasilan program pendidikan karakter.Visi dan misi yang dikembangkan oleh masing-masing sekolah biasanya secarastruktural akan memiliki keterkaitan dengan rencana strategis yang dikembangkan olehinstansi vertikal tempat sekolah tersebut bernaung. Untuk sekolah-sekolah negeri akansejalan dengan rencana strategis yang dikembangkan oleh dinas pendidikan dikabupaten/kota. Sedangkan untuk sekolah-sekolah yang berada di bawah naunganlembaga atau ormas keagamaan juga menyesuaikan dengan visi dan misi serta rencanastrategis yang dikembangkan oleh lembaga terkait.
Program-program yang dijabarkan dari visi dan misi yang dikembangkan sekolah
dapat berupa aturan atau tata tertib yang dibuat sekolah dalam rangka mencapai tujuanpengembangan pendidikan karakter. Peraturan yang dibuat oleh sekolah menjadi acuanpara peserta didik dalam melakukan tindakan atau bersikap. Pemahaman secara baik terhadapvisi dan misi sekolah menjadi hal penting yang harus mendapat perhatian sekolah. Semua civitas sekolah harus memahami betul visi dan misi yang dikembangkan sekolah. Sekolah juga harus dapat menerjemahkan visi dan misi tersebut ke dalam program-program operasional yang mudah dipahami dan dilaksanakan oleh civitas sekolah. Program-program pembinaan karakter yang terlalu berlebihan menjadi tidak efektif apabila dalam pelaksanaannya hanya setengah-setengah saja. Artinya, program yang dikembangkan sekolah tidak perlu terlalu banyak tetapi operasional atau mudah dan dapat dilakukan oleh peserta didik.

Program-program sekolah yang strategis untuk membangun karakter mulia telah
dibuat secara rinci melalui peraturan dan tata tertib sekolah. Tata tertib ini menjadi dasarbagi para siswa dan selurus civitas sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan, dan siapapun) dalam beraktivitas sehari-hari di sekolah. Akibatnya, sekolah sering berlindung di balik visi dan misi sekolah saja, sementara ujud
dari pengembangan karakter akhlak mulia tidak pernah diupayakan untuk bisa terwujuddi sekolah. Harus juga disadari bahwa membangun karakter sekolah memerlukan waktu yang relatif lama. Budaya salam, senyum, sapa, jabat tangan, dan ucapan selamat harus selalu diupayakan dan tidak hanya berhenti sampai batas waktu tertentu, tetapi sampai tercapai kultur akhlak mulia yang dicita-citakan sekolah. Ketercapaian budaya atau kultur akhlak mulia yang diujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari baik di sekolah maupun di luar sekolah yang disertai dengan nilai-nilai ibadah tidak bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Usaha yang telah dilakukan oleh peserta didik di sekolah-sekolah sampel yang dikondisikan dan diupayakan untuk melakukan aktivitas inti selaku umat beragama adalah usaha konkrit dalam rangka membangun karakter mulia melalui kegiatan-kegiatan keagamaan. Bukankah semua sekolah sampel yang diteliti memulai pembangunan karakter mulianya dari aktivitas keagamaan peserta didik. Bersamaan dengan kegiatan-kegitan keagamaan itu dibudayakan juga nilai-nilai kebaikan seperti disiplin,kejujuran, rasa hormat, tanggung jawab, empati, dan nilai-nilai lainnya di sekolah.
Nilai-nilai universal ini seharusnya tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi di mana saja dan oleh siapa saja. Usaha-usaha untuk tegaknya peraturan/tata tertib sekolah jangan hanya berhenti pada dimilikinya peraturan itu, tetapi perlu ditegakkan melalui keterpaduan IPTEK dan IMTAQ. Melalui IPTEK, civitas sekolah harus meningkatkan mutu akademiknya, yaitu dengan belajar dan mengajar yang giat melalui cara yang lebih praktis, efektif, dan efisien, sedangkan melalui IMTAQ siswa dapat menjadi manusia yang memiliki karakter mulia yang bercirikan nilai-nilai agama dan moral serta kebiasaan-kebiasaan yang berperadaban luhur.

Model Pembinaan Karakter berbasis Pendidikan Agama MI

Dari uraian yang telah dikemukakan terkait berbagai model pembinaan karakter
yang dikembangkan oleh masing-masing sekolah, baik di satuan pendidikan dasar
maupun pendidikan menengah pertama, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan
untuk dapat dijadikan sebagai model ideal. Dalam bagian ini akan dicoba untuk dibahas mengenai model ideal pembinaan karakter berbasis pendidikan agama di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Setidaknya ada tiga hal penting terkait dengan model ideal yang dikembangkan, yaitu bagaimana perencanaan atau program yang dibuat, pelaksanaan dan penguatan (reinforcing) nilai-nilai yang dikembangkan, dan bagaimana evaluasi pelaksanaan pendidikan karakter yang dilakukan oleh sekolah.
Perencanaan program pendidikan karakter yang dikembangkan oleh masingmasing
sekolah berangkat dari visi, misi, dan tujuan yang hendak dicapai oleh sekolah.
Untuk membuat sebuah perencanaan program pendidikan karakter yang baik, maka
dalam membuat visi, misi, tujuan sekolah sudah semestinya mencantumkan secara
langsung mengenai karakter yang akan dikembangkan. Setelah dibuat visi, misi, dan
tujuan sekolah selanjutnya dijabarkan ke dalam berbagai program kegiatan. Dalam
menjabarkan program sekolah harus secara cermat.

Untuk terwujudnya pembinaan karakter mulia di sekolah secara umum, perlu
diperhatikan hal-hal di bawah ini:
a. Sekolah atau lembaga pendidikan adalah sebuah organisasi yang seharusnya selalu
mengusahakan dan mengembangkan perilaku organisasinya agar menjadi organisasi
yang dapat membentuk perilaku para peserta didik agar menjadi orang-orang yang sukses
tidak hanya mutu akademiknya tetapi sekaligus mutu nonakademiknya.
b. Sekolah sebaiknya merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah yang secara tegas
menyebutkan keinginan terwujudnya karakter mulia di sekolah.
c. Pengembangan akhlak mulia di sekolah akan berhasil jika ditunjang dengan
kesadaran yang tinggi dari seluruh civitas sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk
mewujudkannya.
d. Untuk pengembangan karakter mulia di sekolah juga diperlukan program-program
sekolah yang secara tegas dan rinci mendukung terwujudnya karakter akhlak mulia
tersebut. Program-program ini dirancang dalam rangka pengembangan atau
pembiasaan peserta didik sehari-hari baik dalam pengamalan ajaran-ajaran agama maupun
nilai-nilai moral dan etika universal dan dituangkan dalam peraturan sekolah.
e. Membangun karakter mulia tidak cukup hanya dengan melalui mata pelajaran
tertentu, seperti Pendidikan Agama (PAI) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKN),
tetapi juga melalui semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah yang ditempuh
dengan cara mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap pembelajaran
semua bidang studi (mata pelajaran) di sekolah. Begitu juga, membangun karakter
mulia harus menjadi tanggung jawab semua guru, utamanya guru agama, guru PKN
atau guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan).
f. Terwujudnya karakter mulia di sekolah juga membutuhkan dukungan sarana
prasarana sekolah yang memadai. Karena itu, sekolah sebaiknya menyediakan
fasilitas yang cukup demi kelancaran pengembangan karakter mulia ini.
g. Pembinaan karakter peserta didik di sekolah meskipun bisa terjadi dengan sendirinya, jikadisertai kesadaran yang tinggi dari semua komponen sekolah. Namun demikian,akan lebih efektif lagi jika pengembangan karakter di sekolah ini ditangani oleh timkhusus yang dibentuk sekolah yang bertanggung jawab penuh dalam pembinaankarakter ini. Tim inilah yang merancang program-program pembinaan karakter,kemudian melaksanakannya hingga melakukan evaluasi programnya hingga terlihat hasil yang diharapkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

3.3 Bimbingan dan penyuluhan
Pendidikan merupakan komponen utama dalam menentukan tingkat kemajuan suatu bangsa. Pendidikan dapat mengarahkan kepada masa depan bangsa, baik itu baik taupun buruk, itu ditentukan oleh pendidikan kita saat ini. Jika pendidikan saat ini sudah teroptimalkan dan dimanfaatkan fungsinya secara baik maka kemajuan bangsa, masa depan bangsa yang cerah bukan lagi hanya sekedar impian belaka, tapi sudah menjadi kepastian yang akan terwujud.
Seperti yang kita pahami bersama bahwa pendukung utama bagi tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu dalam penyelenggaraannya tidak cukup hanya dilakukan melalui taranformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, teori-teori, taupun hal-hal yang bersifat kognitif saja tetapi juga harus didukung oleh peningkatan profesionalitas dan sistem manajemen tenaga pendidikan serta pengembangan kemampuan peserta didik untuk menolong dirinya sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan untuk pencapaian cita-cita dan harapan yang dimilikinya.
Kemampuan diatas tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat akademis, tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektual, dan sistem nilai peserta didik. Dari sana kita dapat melihat bahwa pendidiakn yang bermutu adalah pendidiakn yang mengahntarkan peserta didik pada pencapaian standar akademis yang diharapakn dalam kondisi perkembnagan diri yang sehat dan optimal.
 Didalam keseluruhan proses pendidikan setidaknya ada 3 (tiga) komponen pokok yang paling menunjang dan harus dilaksanakan dalam pendidikan yaitu: program yang baik, administrasi dan supervisi yang lancar, serta pelayanan bimbingan yang terarah. Dari sini jelas bahwa bimbingan dan konseling mempunyai peran yang cukup penting didalam proses pendidikan.
Sebagai salah satu komponen penunjang pendidikan, bimbingan dan konseling mempunyai posisi kunci didalam kemajuan atau kemunduran pendidikan. Mutu pendidikan ikut ditentukan oleh bagaimana bimbingan dan konseling itu dimanfaatkan dan dioptimalkan fungsinya dalam pendidikan, khususnya institusi sekolah.
            Peran bimbingan dan konseling dalam meningkatkan mutu pendidikan seperti yang telah disebutkan sebelumnya,  tidak hanya terbatas pada bimbingan yang bersifat akademik tetapi juga sosial, pribadi, intelektual dan pemberian nilai. Dengan bantuan bimbingan dan konseling maka pendidikan yang tercipta tidak hanya akan menciptakan manusia-manusia yang berorientasi akademik tinggi, namun dalam kepribaian dan hubungan sosialnya rendah serta tidak mempunyai sistem nilai yang mengontrol dirinya sehingga yang dihasilkan pendidikan hanyalah robot-robot intelektual, dan bukannya manusia seutuhnya. Dengan adanya bimbingan dan konseling maka integrasi dari seluruh potensi ini dapat dimunculkan sehinga keseluruhan aspek yang muncul, bukan hanya kognitif atau akademis saja tetapi juga seluruh komponen dirinya baik itu kepribadian, hubungan sosial serta memiliki niali-nilai yang dapatdijadiakn pegangan.
Jadi, dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa peran bimbingan dan konseling didalam meningkatkan mutu pendidikan terletak pada bagaiaman bimbingan dan konseling itu membangun manusai yang seutuhnya dari dberbagai aspek yang ada didadalam diri peserta didik. Karena seperti diawal telah dijelaskan bahwa pendidikan yang bermutu bukanlah pendidikan yang hanya mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi saja tetapi juga harus meningaktkan profesionalitas dan sistem manjemen, dimana kesemuanya itu tidak hanya menyangkut aspek akademik tetapi juga aspek pribadi, sosial, kematangan intelektual, dan sistem nilai. Peran BK dalam keempat aspek inilah yang menjadikan bimbingan konseling ikut berperan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Penulis merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat, mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah dan terlalu mempersukar hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di atas dapat efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural di suatu sekolah.

Bimbingan konseling dengan para konselornya disandingkan dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala madrasah bagian kesiswaan dihadirkan untuk mengambil peran disipliner dan hal-hal yang berkait dengan ketertiban serta penegakan tata tertib. peserta didik mbolosan, berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan lagi konselor yang menegur dan memberi sanksi. Reward dan punishment, pujian dan hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-sama. Pemilahan peran demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang bersifat reward atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam tindakan hukum-menghukum.

Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam pendampingan orang-orang muda yang masih dalam tahap pencarian diri. Orang-orang muda di sekolah menengah lazimnya dihadapkan pada celaan, cacian, cercaan, dan segala sumpah-serapah kemarahan jika membuat kekeliruan. Namun, jika melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering pujian, sanjungan atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk pribadi-pribadi yang memiliki gambaran diri negatif belaka. Jika seluruh komponen kependidikan di sekolah bertindak sebagai yang menghakimi dan memberikan vonis serta hukuman, maka semakin lengkaplah pembentukan pribadi-pribadi yang tidak seimbang.

BK dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip keseimbangan. Lembaga ini menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa waswas akan privacynya. Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa dapat mengambil manfaat dari pelayanan bimbingan di sekolah, sejauh mereka dapat ditolong untuk lebih mengerti akan anak mereka.

Tantangan pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi yang ideal justru datang dari faktor-faktor instrinsik sekolah sendiri. Kepala sekolah kurang tahu apa yang harus mereka perbuat dengan konselor atau guru-guru BK. Ada kekhawatiran bahwa konselor akan memakan “gaji buta”. Akibatnya, konselor mesti disampiri tugas-tugas mengajar keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus perpustakaan, atau jika tidak demikian hitungan honor atau penggajiannya terus dipersoalkan jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan tugas-tugas konselor yang dianggapnya penganggur terselubung. Padahal, betapa pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam penanganannya.

BK yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari ruangan yang disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah sekolah yang mampu (baca: mau!) menyediakan ruang konseling memadai. Tidak jarang dijumpai, ruang BK sekadar bagian dari perpustakaan (yang disekat tirai), atau layaknya ruang sempit di pojok dekat gudang dan toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan peran BK dengan mencoba menempatkan kembali pada posisi dan perannya yang hakiki. Menaruh harapan yang lebih besar pada BK dalam pendampingan pribadi, sekarang ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan segala orientasinya tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan semua itu, butuh perubahan paradigma para kepala sekolah dan semua pihak yang terlibat dalam proses kependidikan


3.4  Sistem Evaluasi
Pengertian evaluasi
Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggrisevaluation yang berarti penilaian atau penaksiran (John M. Echols dan HasanShadily: 1983). Menurut Stufflebeam, dkk (1971) mendefinisikan evaluasisebagai the process of delineating, obtaining, and providing useful information for  judging decision alternatives," Artinya evaluasi merupakan prosesmenggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan. digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.
Selain pengertian di atas ternyata pengertian evaluasi pendidikan merupakan proses yang sistematis dalam :
1.Mengukur tingkat kemajuan yang dicapai siswa, baik ditinjau dari normatujuan maupun dari norma kelompok
2.Menentukan apakah siswa mengalami kemajuan yang memuaskan kearah pencapaian tujuan pengajaran yang diharapkan.
Bukan hanya seperti di katakan di atas saja pengertian evaluasi, tetapi ada beberapa istilah yang serupa dengan evaluasi itu, yang intinya masih mencakupevaluasi, yaitu di antaranya:1.Measurement / pengukuran diartikan sebagai proses kegiatan untuk menentukan luas atau kuantitas sesuatu untuk mendapatkan informasi ataudata berupa skor mengenai prestasi yang telah dicapai siswa pada periodetertentu dengan menggunakan berbagai tekhnik dan alat ukur yang relevan.2.Tes secara harfiah diartikan suatu alat ukur berupa sederetan pertanyaan ataulatihan yang digunakan untuk mengukur kemampuan, tingkah laku, potensi, prestasi sebagai hasil pembelajaran. Assessment adalah suatu proses pengumpulan data dan pengolahan datatersebut menjadi suatu bentuk yang dapat dijelaskan.

 Tujuan dan Fungsi Evaluasi
Pada dasarnya evaluasi merupakan proses penyusunan deskripsi peserta didik baik secara kuantitatif maupun secara kulaitatif.Secara lugas evaluasi untuk mengukur kemampuan ranah cipta, rasa, dan karsa peserta didik.
a.Untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh peserta didik dalamsuatu kurun waktu proses belajar tertentu.
 b.Untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang peserta didik di dalam kelompok kelasnya.Apakah peserta didik tersebut termasuk kategori lambat,sedang, atau cepat.
c.Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan seorang peserta didik dalam belajar. Apakah menunjukan tingkat usaha yang efisien atau tidak.
d.Untuk mengetahui hingga sejauh mana seorang peserta didik telah mendayagunakan kapasitas kognitifnya
e.Untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah digunakan oleh seorang pendidik dalam proses belajar-mengajar.
Selain memiliki tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
Fungsi Evaluasi Bersifat Evaluatif, antara lain:
1) Fungsi prognostik yaitu meramalkan sesuatu dalam menghadapi langkahselanjutnya 2)Fungsi diagnostik yaitu evaluasi yang bertujuan yang mengetahuikelemahan-kelemahan peserta didik serta penyebabnya
3)Fungsi judgement yaitu evaluasi yang dilakukan untuk menetukankeberhasilan peserta didik atau tes penentuan akhir.

a.Fungsi evaluasi bagi peserta didik
Bagi siswa, evaluasi digunakan untuk mengukur pencapaiankeberhasilannya dalam mengikuti pelajaran yang telah diberikan oleh pendidik. Dalam hal ini ada dua kemungkinan :
1)Hasil bagi peserta didik yang memuaskanJika siswa memperoleh hasil yang emuaskan, tentunya kepuasan ini ingin diperolehnya kembali pada waktu yang akan datang. Untuk ini peserta didik akan termotifasi untuk belajar lebih giat agar perolehannya sama bahkan meningkat pada masa yang akan datang. Namun, dapat pulaterjadi sebaliknya, setelah memperoleh hasil yang memuaskan peserta didik  tidak rajin belajar sehingga pada waktu berikutnya hasilnya menurun.
2)Hasil bagi peserta didik yang tidak memuaskanJika peserta didik memperoleh hasil yang tidak memuaskan, maka padakesempatan yang akan datang dia akan berusaha memperbaikinya.Oleh karena itu, peserta didik akan giat belajar. Tetapi bagi peserta didik yang kurangmotivasi atau lemah kemauannya akan menjadi putus asa
b.Fungsi evaluasi bagi pendidik
1)Dapat mengetahui peserta didik manakah yang menguasai pelajran dan peserta didik mana pula yang belum. Dalam hal ini hendaknya pendidik memberikan perhatian kepada peserta didik yang belum berhasil sehingga pada akhirnya peserta didik mencapai keberhasilan yang diharapkan.
2)Dapat mengetahui apakah tujuan dan materi pelajaran yang telah disampaikan itu dikuasai oleh peserta didik atau belum.
3)Dapat mengetahui ketepatan metode yang digunakan dalammenyajikan bahan pelajaran tersebut.
4)Bila dari hasil evaluasi itu tidak berhasil, maka dapat dijadikan bahanremidial. Jadi, evaluasi dapat dijadikan umpan balik pengajaran.


c.Fungsi evaluasi bagi sekolah
1)Untuk mengukur ketepatan kurikulum atau silabus. Melalui evaluasiterhadap pengajaran yang dilakukan oleh guru, maka akan dapatdiketahui apakah ketepatan kurikulum telah tercapai sesuai dengan target yang telah ditentukan atau belum. Dari hasil penilaian tersebut juga sekolah dapat menetapkan langkah-langkah untuk perencanaan program berikutnya yang lebih baik.
2)Untuk mengukur tingkat kemajuan sekolah. Sudah barang tentu jikahasil penilaian yang dilakukan menunjukkan tanda-tanda telahterlaksananya kurikulum sekolah dengan baik, maka berarti tingkatketepatan dan kemajuan telah tercapai sebagaimana yang diharapkan.Akan tetapi sebaliknya jika tand-tanda itu menunjukkan tidak tercapainya sasaran yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwatingkat ketepatan dan kemajuan sekolah perlu ditingkatkan.
3)Mengukur keberhasilan pendidik dalam mengajar. Melalui evaluasi yangtelah dilaksanakan dalam pengajaran merupakan bahan informasi bagi pendidik untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam melaksanakan pengajaran.
4)Untuk meningkatkan prestasi kerja. Keberhasilan dan kemajuan yangdicapai dalm pengajaran akan mendorong bagi sekolah atau guruuntuk terus meningkatkan prestasi kerja yang telah dicapai dan berusaha memperbaiki kelemahan dan kekurangan yang mungkin terjadi.
Dalam evaluasi semua komponen dalam pendidikan layak dan harus dijadikansebagai objek dan subjek evaluasi pendidikan, yaitu :
a. Peserta didik, dapat menjadi subjek evaluasi bagi dirinya sendiri dan bagi guru sertasekolahnya dan dapat juga menjadi bagian dari objek evaluasi yang dilakukan oleh pendidik dan sekolahnya.
b.Pendidik, dapat menjadi subjek evaluasi bagi program dan cara-cara dia mengajar, keberhasilannya dan juga dapat menjadi objek evaluasi oleh siswadan sekolahnya.
c.Sekolah, dapat menjadi subjek evaluasi bagi peserta didik dan pendidik yang ada didalamnya serta dapat juga menjadi sasaran atau objek evaluasi dari peserta didik dan  pendidik yang bernaung didalamnya.Setelah semua tugas evaluasi kita lakukan kita akan banyak memetik manfaatdari evaluasi itu, baik bagi peserta didik, pendidik maupun sekolah yang seandainya kitamengambil benang merah dari nya kita akan mengetahui apa-apa yanga harus danyang tidak harus lagi kita lakukan untuk kedepannya
Teknik evaluasi digolongkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu teknik tes dan teknik non Tes.
1.   Teknik Non Tes
meliputi ; skala bertingkat, kuesioner,daftar cocok, wawancara, pengamatan, riwayat hidup.
a.Rating scale atau skala bertingkat menggambarkan suatu nilai dalam bentuk angka. Angka-angak diberikan secara bertingkat dari anggak terendah hingga angkat paling tinggi. Angka-angka tersebut kemudiandapat dipergunakan untuk melakukan perbandingan terhadap angka yanglain.
b.Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang terbagi dalam beberapa kategori.Dari segi yang memberikan jawaban, kuesioner dibagi menjadi kuesioner langsung dan kuesioner tidak langsung. Kuesioner langsung adalahkuesioner yang dijawab langsung oleh orang yang diminta jawabannya.Sedangkan kuesiioner tidak langsung dijawab oleh secara tidak langsungoleh orang yang dekat dan mengetahui si penjawab seperti contoh, apabilayang hendak dimintai jawaban adalah seseorang yang buta huruf makadapat dibantu oleh anak, tetangga atau anggota keluarganya. Dan bila ditinjau dari segi cara menjawab maka kuesioner terbagi menjadikuesioner tertutup dan kuesioner terbuka. Kuesioner tertututp adalahdaftar pertanyaan yang memiliki dua atau lebih jawaban dan si penjawabhanya memberikan tanda silang (X) atau cek         (√) pada awaban yang ia anggap sesuai. Sedangkan kuesioner terbuka adalah daftar pertanyaandimana si penjawab diperkenankan memberikan jawaban dan pendapatnya secara terperinci sesuai dengan apa yang ia ketahui.
c.Daftar cocok adalah sebuah daftar yang berisikan pernyataan besertadengan kolom pilihan jawaban. Si penjawab diminta untuk memberikantanda silang (X) atau cek (√) pada awaban yang ia anggap sesuai.
d.Wawancara, suatu cara yang dilakukan secara lisan yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan tujuan informsi yang hendak digali. wawancara dibagi dalam 2 kategori, yaitu pertama, wawancara.
e.Pengamatan atau observasi, adalah suatu teknik yang dilakuakn denganmengamati dan mencatat secara sistematik apa yang tampak dan terlihatsebenarnya. Pengamatan atau observasi terdiri dari 3 macam yaitu : (1)observasi partisipan yaitu pengamat terlibat dalam kegiatan kelompok yang diamati. (2) Observasi sistematik, pengamat tidak terlibat dalamkelompok yang diamati. Pengamat telah membuat list faktor faktor yangtelah diprediksi sebagai memberikan pengaruh terhadap sistem yangterdapat dalam obejek pengamatan.
f.Riwayat hidup, evaluasi ini dilakukan dengan mengumpulkan data daninformasi mengenai objek evaluasi sepanjang riwayat hidup objek evaluasi tersebut.
       2.   Teknik Tes
Dalam evaluasi pendidikan terdapat 3 macam tes yaitu :
a.tesdiagnostic dimaksudkan untuk mengetahui kesulitan belajar yang dialami siswa berdasarkan atas hasil test formatif sebelumnya.
b.tes formatif Dimaksudkan untuk memantau kemajuan belajar siswa selama proses belajar berlangsung dan untuk memberikan balikan bagi penyempurnaan program belajar mengajar serta untuk mengetahui kelemahan-kelemahanyang memerlukan perbaikan.
c.tes sumatif Dimaksudkan untuk menetapkan apakah seseorang berhasil mencapaisekumpulan tujuan pengajaran atau tidak.
Pada dasarnya atau hakikatnya penskoran adalah suatu proses pengubahan jawaban instrumen menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item dalam instrumen (Djaali & Muljono, 2004).Untuk memudahkan dalam penskoran, maka diperlukan alat bantu sebagai berikut:
1.Kunci jawaban, yaitu deretan jawaban yang kita persiapkan untuk pertanyaan atausoal-soal yang kita buat.
2.Kunci skoring, yaitu alat yang digunakan untuk mempercepat pekerjaan skoring.
3.Pedoman penilaian, yaitu alat untuk membantu menentukan angka.A.Rumus dalam penskoran tes objektif/:
1.   Benar Salah dalam menentukan angka (skor) untuk tes bentuk ini, dapat digunakan 2 (dua)cara yaitu :Tanpa hukuman/penalti, adalah apabila banyaknya angka yang diperolehsiswa sebanyak jawaban yang cocok dengan kunci.
S = R – W
Dimana :S : Skor R : Right (jumlah benar)W : Wrong (jumlah salah)Dengan hukuman/penalti, hal ini digunakan apabila diragukan adanya unsur tebakan.
S = T - 2W
Dimana:T : Jumlah soal dalam tes

2.    Pilihan GandaPada dasarnya sama dengan tes benar-salah, hanya yang membedakan untuk menskor yang dengan penalti adalah sebagai berikut :
S = R - W(n - 1)
Dimana :S : Skor R : RightW : Wrong N : banyaknya pilihan jawaban

3.5 Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan madrasah
Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua, dan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal. Sekarang hampir semua sekolah telah mempunyai komite sekolah yang merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah, sebab masyarakat dari berbagai lapisan sosial ekonomi sudah sadar betapa pentingnya dukungan mereka untuk keberhasilan pembelajaran di sekolah.
Sebetulnya banyak sekali jenis-jenis dukungan masyarakat pada sekolah. Namun sampai sekarang dukungan tersebut lebih banyak pada bidang fisik dan materi, seperti membantu pembangunan gedung, merehab sekolah, memperbaiki genting, dan lain sebagainya. Masyarakat juga dapat membantu dalam bidang teknis edukatif antara lain menjadi guru bantu, sumber informasi lain, pendidik pengganti, mengajar kebudayaan setempat, ketrampilan tertentu, atau sebagai pengajar tradisi tertentu. Namun demikian, hal tersebut belumlah terwujud karena berbagai alasan.
Pada dasarnya masyarakat baik yang mampu maupun yang tidak mampu, golongan atas, menengah maupun yang bawah, memiliki potensi yang sama dalam membantu sekolah yang memberikan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Akan tetapi hal ini bergantung pada bagaimana cara sekolah mendekati masyarakat tersebut. Oleh karena itu, sekolah harus memahami cara mendorong peran serta masyarakat agar mereka mau membantu sekolah.
Tulisan ini berikhtiar membicarakan tiga hal antara lain; pentingnya peran serta masyarakat utamanya peran stakeholder bagi pengembangan madrasah; jenis-jenis peran serta masyarakat, serta cara mendorong peran serta masyarakat. Dari sini diharapkan muncul pokok-pokok gagasan setelah melalui proses diskusi dan simulasi yang mencakup munculnya identifikasi stakeholder (baca: kelompok masyarakat) dalam dalam membantu pendidikan; terinventarisasinya jenis-jenis PSM; serta teridentifikasinya beberapa cara mendorong peran serta masyarakat (PSM).
Mengapa PSM itu perlu?
•    Pendidikan adalah tanggungjawab bersama keluarga, masyarakat, dan negara;
•    Keluarga bertanggungjawab untuk mendidik moralitas/agama, menyekolahkan anaknya, serta membiayai keperluan pendidikan anaknya;
•    Anak berada di sekolah antara 6-9 jam, selebihnya berada di luar sekolah (rumah dan lingkungannya). Dengan demikian, tugas keluarga amat penting untuk menjaga dan mendidik anaknya;
•    Pendidikan adalah investasi masa depan anak. Oleh karena itu, memerlukan biaya, tenaga dan perhatian. Keberatankah orang tua membayar SPP yang sifatnya bulanan, sedang mereka saja tidak berat untuk membeli rokok setiap hari? Mungkinkah anak menjadi pandai tanpa biaya? Harusnya kita sadar, kita sedang memasuki era globalisasi, dan jika anak kita tidak terdidik, kita akan kalah bersaing dengan bangsa lain.
•    Anak perempuan perlu mendapat pendidikan setinggi anak laki-laki mengingat mereka akan menjadi ibu dari bayi-bayinya. Ibu lebih dekat kepada anak dan mendidik anak perlu pengetahuan yang memadai agar anak tidak salah asuhan/didik;
•    Masyarakat berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan dan mendukung pendidikan yang baik. Kewajiban mereka tidak sebatas pada bantuan dana, lebih dari itu juga pemikiran dan gagasan;
•    Pemerintah berkewajiban membuat gedung sekolah, menyediakan tenaga/guru, melakukan standarisasi kurikulum, menjamin kualitas buku paket, alat peraga, dan lain sebagainya. Karena kemampuan pemerintah terbatas, maka peran serta masyarakat sanga diperlukan;
•    Kemampuan pemerintah terbatas sehingga mungkin tidak mampu untuk mengetahui secara rinci nuansa perbedaan di masyarakat yang berpengaruh pada bidang pendidikan. Jadi masyarakat berkewajiban membantu penyelenggaraan pendidikan;
•    Masyarakat dapat terlibat dalam memberikan bantuan dana, pembuatan gedung, lokal, pagar, dan lain sebagainya. Masyarakat juga dapat terlibat dalam bidang teknis edukatif.
•    Idealnya sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah dan juga kepada masyarakat sekitarnya;
•    Bantuan teknis edukatif juga sangat mungkin diberikan, seperti: menyediakan diri menjadi tenaga pengajar, membantu anak berkesulitan membaca, menentukan dan memelihara guru baru yang mempunyai kualifikasi, serta membicarakan pelaksanaan kurikulum dan kemajuan belajar.



Jenis-jenis PSM (Peran Serta Masyarakat)
Ada bermacam-macam tingkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Peran serta tersebut dapat diklasifikasikan dalam 7 tingkatan, yang dimulai dari tingkat terendah ke tingkat tertinggi. Tingkatan tersebut terinci sebagai berikut:
1.    Peran serta dengan menggunakan jasa yang tersedia. Jenis PSM ini merupakan jenis paling umum. Masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah dengan memasukkan anak ke sekolah;
2.    Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang dan atau tenaga;
3.    Peran serta secara pasif. Artinya menyetujui dan menerima apa yang diputuskan oleh sekolah (komite sekolah), misalnya komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orangtua menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya;
4.    Peran serta melalui adanya konsultasi. Orangtua datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya;
5.    Peran serta dalam pelayanan. Orantua/masyarakat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua ikut membantu sekolah ketika ada studi banding, kegiatan pramuka, kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya;
6.    Peran serta sebagai pelaksana kegiatan yang didelegasikan/dilimpahkan. Misalnya, sekolah meminta orangtua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan, masalah gender, gizi dan lain sebagainya.
7.    Peran serta dalam pengambilan keputusan. orangtua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan (baik akademis maupun non akademis) dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam rencana pengembangan sekolah.
Menuju Otonomi pada Tingkat Sekolah; Ikhtiar Memberdayakan Komite Sekolah sebagi Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan
“Komite Sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan”. (Pasal 56, ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003)
Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan.  Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap masyarakat.
Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat kompleks dan tak berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat itu.
Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan (supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya.
Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dsalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat.
Perlu juga difahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Adalah keliru jika DP dan KS adalah alat untuk “penarikan iuran”, karena “penarikan iuran” yang dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi dan tanggungjawab masyarakat. Tetapi yang harus lebih difahami adalah fungsi Dewan dan Komite sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita akhiri, dan dengan MBS, dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep MBS, masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa tanggungjawab untuk keberhasilan pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran” bahkan apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan kesempatan) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung di sekolah-sekolah.


Pengelolaan Pendidikan pada tingkat Sekolah
Peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemen pendidikan di tingkat sekolah. Beberapa aspek manajemen yang secara langsung dapat diserahkan sebagai urusan yang menjadi kewenangan tingkat sekolah adalah sebagai berikut.
Pertama, menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Urusan ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap sekolah seyogyanya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Ini merupakan bukti kemandirian awal yang harus ditunjukkan oleh sekolah. Jika masa lalu sekolah lebih dipandang sebagai lembaga birokrasi yang selalu menunggu perintah dan petunjuk dari atas, dalam era otonomi daerah ini sekolah harus telah memiliki kesadaran untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Sudah barang tentu, sekolah harus menjalin kerjasama sebaik mungkin dengan orangtua dan masyarakat sebagai mitra kerjanya. Bahkan dalam menyusun program kerjanya, sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi, misi, strategi, dan tujuan sekolah tersebut, orangtua dan masyarakat yang tergabung dalam Komite Sekolah, serta seluruh warga sekolah harus dilibatkan secara aktif dalam menyusun program kerja sekolah, dan sekaligus lengkap dengan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Kedua, memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tesedia, fasilitas yang ada, jumlah pendidik, dan tenaga administratif yang dimiliki. Berdasarkan sumber daya pendukung yang dimilikinya, sekolah secara bertanggung jawab harus dapat menentukan sendiri jumlah peserta didik yang akan diterima, syarat peserta didik yang akan diterima, dan persyaratan lain yang terkait. Sudah barang tentu, beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota perlu mendapatkan pertimbangan secara bijak.
Ketiga, menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini, dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusannya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah. Kurikulum muatan lokal, misalnya dalam mengambil kebijakan untuk menambah mata pelajaran seperti Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, komputer, dsb. Sudah barang tentu, kebijakan itu diambil setelah meminta pertimbangan dari Komite Sekolah, termasuk resiko anggaran yang diperlukkan untuk itu. Dalam kaitannya dengan penetapan kegiatan ekstrakurikuler, sekolah juga harus meminta pendapat siswa dalam menentukan kegiatan ekstrakurikuler yang akan diadakan oleh sekolah.
Oleh karena itu sekolah dapat melakukan pengelolaan biaya operasio-nal sekolah, baik yang bersumber dari pemerintah Kabupaten/Kota maupun dari masyarakat secara mandiri. Untuk mendukung program sekolah yang telah disepakati oleh Komite Sekolah diperlukan ketepatan waktu dalam pencairan dana dari pemerintah kabupaten/kota. Oleh kaarena itu praktik birokrasi yang menghambat kegiatan sekolah harus dikurangi.
Keempat, pengadaan sarana dan prasana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. Misalnya, buku murid tidak seenaknya diganti setiap tahun oleh sekolah, atau buku murid yang akan dibeli oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian, dsb. Pemilihan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan oleh sekolah, dengan tetap mengacu kepada standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau provinsi dan kabupaten/kota.
Kelima, penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten. Yang biasa terjadi justru, karena kewenangan penghapusan itu tidak jelas, barang dan jasa yang ada di sekolah justru tidak pernah dihapuskan, meskipun ternyata barang dan jasa itu sama sekali telah tidak berfungsi atau malah telah tidak ada barangnya.
Keenam, proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan profesional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. Kepala sekolah dan guru secara bersama-sama merancang proses pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan lancar dan berhasil. Proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan direkomendasikan sebagai model pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Pada masa sentralisasi pendidikan, proses pembelajaran pun diatur secara rinci dalam kurikulum nasional. Dalam era otonomi daerah, kurikulum nasional sedang dalam proses penyempurnaan menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK).  Dengan KBK ini, diharapkan para guru tidak akan terpasung lagi kreativitasnya dalam melaksanakan dan mengembangkan kurikulum.
Ketujuh, urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenagan setiap satuan pendidikan.

BAB III
PENUTUP

4.1        Kesimpulan
Berikut beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian diatas, antara lain sebagai berikut :
1.     Studi tentang kurikulum dewasa ini semakin mendapat perhatian dari
kalangan ilmuan yang menekuni bidang tersebut. Hal ini terbukti makin
luasnya para peminat dalam bidang tersebut dan makin banyaknya penelitian
dan penulisan karya ilmiah yang  menjajaki dan mengungkapkan bidang ini.
Salah satu alasan yang mendorong banyaknya pakar pendidikan yang menaruh
perhatian pada bidang ini, karena kurikulum merupakan alat yang amat
penting untuk meningkatkan keberhasilan sistem pendidikan secara
menyeluruh, tanpa alat yang serasi dan tepat guna ternyata sulit untuk
mencapai tujuan-tujuan pendidikan pada semua jenjang dan satuan serta jenis
pendidikan.

2.    Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi
seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalampikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,hokum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konseppendidikan karakter (character education).

3.    Penyuluhan adalah merupakan suatu aktifitas wawancara yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah dalam rangka untuk membicarakan dan memecahkan masalah yang sedang dihadapi dan memberikan bantuan kepada mereka, sehingga pada akhirnya bermuara pada teratasi masalah yang dihadapi oleh klien  dan dapat beradaptasi dengan baik dan efektif dengan lingkungan hidupnya.
Secara umum tujuan bimbingan dan penyuluhan keseluruhan program pendidikan disekolah adalah untuk membantu peserta didik untuk mencapai tahap perkembangan yang optimal baik secara akademis, psikologis, maupun social.

4.    Penilaian perlu diprogramkan secara sistematis dan terpadu. Kegiatan penilaian baik mengenai proses maupun hasil perlu dianalisis untuk kemudian dijadikan dasar dalam tindak lanjut untuk perbaikan dan pengembangan program layanan bimbingan. Dengan dilakukan penilaian secara komprehensif, jelas dan cermat maka diperoleh data atau informasi tentang proses dan hasil seluruh kegiatan bimbingan dan konseling. Data dan informasi ini dapat dijadikan bahan untuk pertanggungjawaban/ akuntabiltas pelaksanaan program bimbingan dan konseling.

5.    Secara garis besar peningkatan “peranserta” masyarakat dalam pemberdayaan dan peningkatan pendidikan keagamaan dapat dikerangkakan sebagai berikut; Pertama; peningkatan peranserta masyarakat dalam pemberdayaan managemen pendidikan.yakni peningkatan pengembangan managemen yang lebih accountable, baik dari segi keuangan maupun organisasi pendidikan itu sendiri. Melalui peningkatan ini, sumber-sumber finansial masyarakat dapat dipertanggungjawabkan secara lebih efisien untuk pemberdayaan dan peningkatan kualitas pendidikan Islam; begitu juga dari segi organisasi, sehingga menjadi lebih viable dan durable dalam perubahan dan tantangan zaman. Kedua, peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan pendidikan yang berkualitas dan berkeunggulan, yang pada gilirannya akan mendorong perkembangan madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya menjadi “centers of exellence “ yang mengahsilkan pendidik yang berparadigma keilmuan “komprehensif”, yakni pengetahuan umum dan agama, plus imtaq. Ketiga; peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber-sumber belajar lain yang dapat dalam masyarakat, sehingga system pendidikan Islam tidak terpisah, atau menjadi bagian integral dari masyarakat muslim secara keseluruhan. Melalui pengembangan ini, madrasah atau perguruan lainnya dapat menjadi “core’’ dari “learning society”, masyarakat belajar, yang gilirannya membuat anak didik keluaran lembaga pendidikan Islam lebih berkualitas, capable, fungsional dan integrated dengan masyarakat.

4.2 Saran-saran
Berikut beberapa saran yang dapat penulis sampaikan antara lain :
1.    Untuk itu benahi lingkungan sekolah agar menjadi lingkungan yang positif. Pendidik harus disiplin lebih dulu peserta didik pasti akan mengikuti disiplin. 
2.    Pendidik hendaknya lebih memperhatikan karakter peserta didik agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik, serta pendidik dapat mengembangkan karakter peserta didik sesuai dengan materi ajar dan tingkat pendidikan.
3.    Sebaiknya dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling di lingkungan sekolah ini menggunakan tenaga yang benar – benar professional dan terlatih ini dikarenakan ternyata betapa besarnya manfaat adanya bimbingan dan konseling di madrasah.
4.    Diharapkan terus mendukung pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolahnya sehingga tercipta pelayanan yang baik dan bermutu.
5.    Pihak sekolah dan masyarakat sekitar perlu menjalin hubungan dengan baik guna lancarnya proses pembelajaran
                                                                                         










DAFTRAR RUJUKAN

Badan standar nasional pendidikan (BSNP). Panduan Umum Penyusunan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kantor Wilayah
Propinsi Jawa Timur, 2006
Kosnandar. (2000). Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah jawa Barat.
Juntika Nurihsan, Achmad. (2005). Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling.
Bandun Anggani Sudono, M.A., Mengembangkan Kesadaran Masyarakat; Berpartisipasi Meningkatkan Pendidikan Anak Bangsa, dalam Membangun Masyarakat Pendidikan, INSEP bekerjasama dengan BEP Depag Jakarta, 2001: Refika Aditama.
Hasan, S. Hamid. 2000. Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya 
Mulyana, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar