Here to share knowledge, information and entertainment. I believe only the smart people who can take advantage of this opportunity. May be useful, and don’t forget to leave your comments and suggestions to build this page. Thank you d^_^b

Jumat, 03 Agustus 2012

Teori Belajar


 Pendahuluan
            Seiring dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, inovasi pembelajaran merupakan salah satu hal yang mendapat perhatian, di samping sarana penunjang pembelajaran. Berbagai forum diadakan untuk menyemaikan dan menyosialisasikan gagasan tentang inovasi  pembelajaran dengan partisipan atau subjek sasaran para guru. Bahkan, dalam Diklat Sertifikasi Guru, sebagai tindak lanjut penanganan  para peserta sertifikasi yang tidak  lolos lewat jalur portofolio, inovasi pembelajaran merupakan salah satu mata Diklat. Namun, di sisi lain, ada keengganan atau keterpaksaan pada sebagian guru untuk mengikuti perkembangan atau mendalami inovasi pembelajaran. Apa yang mereka tekuni selama ini seolah-olah sudah cukup dan tidak perlu diubah lagi. Padahal, merupakan suatu keharusan bagi guru untuk secara terus-menerus melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan mutu dan hasil pembelajaran, lebih-lebih setelah memasuki era global seperti sekarang. 

Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
            Ada banyak pakar yang menganut paham behavioristik, seperti Thorndike, Watson, Hull, Guthrei, dan Skinner. Menurut teori behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah laku yang dihasilkan melalui interaksi antara stimulus dan respon. Berdasarkan teori ini, seseorang telah dianggap belajar kalau ia telah dapat menunjukkan perubahan tingkah laku. Sebagai contoh, seorang anak dapat dianggap telah belajar budi pekerti, kalau ia telah menjadi lebih menghargai orang lain, misalnya. Yang terpenting menurut teori ini adalah masukan yang berupa stimulus dan keluaran yang berupa respon. Sementara, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati. Faktor lain yang dianggap penting adalah penguatan. Penguatan berfungsi meningkatkan kemungkinan timbulnya respon yang diharapkan.
            Berdasarkan teori behavioristik tersebut, dikembangkan langkah-langkah pembelajaran seperti berikut ini. (1) Guru menentukan tujuan pembelajaran. (2) Guru mengidentifikasi pengetahuan awal siswa untuk menentukan materi pelajaran. (3) Guru menyajikan materi pelajaran. (4) Guru memberi stimulus. (5) Guru mengamati respon siswa, dan. (6) Guru memberi penguatan.

Teori Belajar Kognitif dan Penerapannya dalam Pembelajaran
            Teori belajar kognitif dianut oleh pakar-pakar, seperti Piaget, Bruner, dan Ausubel. Menurut teori ini, ada hal yang lebih penting dari sekadar hasil belajar yang berupa perubahan tingkah laku. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak dan melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi melalui pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang telah dimiliki dan terbentuk dalam pikiran berdasarkan pemahaman dan pengalaman sebelumnya.
            Dalam penerapan teori belajar kognitif, kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar amat diperhitungkan agar aktivitas belajar menjadi lebih bermakna bagi siswa. Prinsip-prinsip belajar yang dianut adalah berikut ini. (1) Siswa mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu sampai mencapai kematangan kognitif seperti orang dewasa. (2) Pembelajaran perlu dirancang agar sesuai dengan perkembangan kognitif siswa. (3) Agar proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi, siswa perlu dilibatkan secara aktif dalam belajar. (4) Pengalaman atau informasi baru perlu dikaitkan dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa untuk menarik minat dan meningkatkan retensi. (5) Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar menghafal, dan (6) Perbedaan individual antarsiswa perlu diperhatikan dalam rangka mencapai keberhasilan belajar.
Gagasan antarpakar tentang implementasi teori kognitif dalam pembelajaran agak bervariasi. Berikut ini ditampilkan langkah-langkah pembelajaran menurut Piaget. (1) Guru menentukan tujuan pembelajaran. (2) Guru memilih materi pelajaran dan menentukan topik-topik yang  dapat dipelajari secara aktif. (3) Guru menentukan kegiatan belajar yang sesuai dengan topik, seperti penelitian, pemecahan masalah, diskusi, simulasi, dsb, dan (4) Guru melakukan penilaian proses dan hasil belajar.

Teori Belajar Konstruktivistik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
            Teori belajar konstruktivistik berasal dari filsafat konstruktivisme yang  pada awalnya digagas oleh Mark Baldwin (Sanjaya, 2007). Menurut teori kontruktivistik, pengetahuan merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan, dengan demikian, secara terus-menerus mengalami reorganisasi karena adanya-pemahaman-pemahaman baru. Jadi, pengetahuan, menurut teori kontruktivisik tidak dapat dipindahkan  dari pikiran seseorang yang telah memilikinya (guru) ke pikiran orang lain yang belum memilikinya (siswa).
            Belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh siswa. Dengan demikian, kendali belajar dapat dikatakan sepenuhnya ada pada siswa. Sementara itu, tugas guru adalah menata lingkungan sehingga memberi peluang optimal bagi terjadinya proses belajar dan membantu agar proses rekonstruksi pengetahuan berjalan lancar. Sebelum aktivitas belajar dimulai, siswa sesungguhnya telah memiliki kemampuan awal. Kemampuan awal itu akan mendasari proses rekonstruksi pengetahuan baru. Oleh karena itu, sesederhana  apa pun kemampuan awal  itu, kemampuan itu harus dijadikan dasar pembelajaran.

Teori Kecerdasan Ganda  dan Penerapannya dalam Pembelajaran
            Teori kecerdasan ganda diperkenalkan oleh Howard Gardner sejak 1983. Menurut Gardner, ada sepuluh macam kecerdasan pada setiap individu dengan proporsi yang bervariasi. Biasanya, satu kecerdasan lebih menonjol/kuat dibandingkan kecerdasan lainnya. Kesepuluh kecerdasan itu adalah (1) kecerdasan verbal/bahasa, (2) kecerdasan logika/matematik, (3) kecerdasan visual/ruang, (4) kecerdasan gerak tubuh, (5) kecerdasan musikal/ritmik, (6) kecerdasan interpersonal, (7) kecerdasan intrapersonal, (8) kecerdasan naturalis, (9) kecerdasan spiritual, dan (10) kecerdasan  eksistensial. Tidak ada satuan kegiatan manusia yang hanya menggunakan satu macam kecerdasan. Kesepuluh kecerdasan itu bekerja sama secara utuh dan terpadu. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan lainnya dalam memecahkan masalah. Semua kecerdasan itu dapat ditingkatkan atau dikembangkan.
            Untuk menyelenggarakan pembelajaran berdasarkan teori intelligensi ganda, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh (Suparno, 2004). Langkah pertama adalah mengenali inteligensi ganda siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: (1) dengan tes, (2) dengan mencoba mengajar dengan inteligensi ganda dan mengamati respon siswa terhadap metode tersebut, (3) dengan observasi terhadap apa yang dilakukan siswa di kelas dan di luar kelas, dan (4) dengan mengumpulkan dokumen yang dibuat oleh siswa.
            Langkah kedua adalah menyiapkan pengajaran. Dalam menyiapkan pengajaran, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) berfokus pada topik tertentu, (2) mengidentifikasi aspek inteligensi yang mungkin dikembangkan, (3) membuat skema kemungkinan kegiatan yang sesuai dengan topik dan inteligensi yang akan dikembangkan, dan (4) menyusun RPP.
            Langkah ketiga adalah melaksanakan pengajaran. Pengajaran dilaksanakan dengan menerapkan berbagai strategi yang sesuai dengan aspek-aspek inteligensi yang akan dikembangkan. Langkah terakhir adalah melakukan evaluasi. Evaluasi perlu disesuaikan dengan tujuan dan cara pengajaran. Jika guru melaksanakan pengajaran dengan teori inteligensi ganda, evaluasinya pun harus lebih luas dan menyeluruh, bukan hanya menguji satu aspek inteligensi. 
           
  Penelitian sebagai Upaya Akhir
            Dari paparan tentang berbagai teori belajar pada bagian sebelumnya, dapat diketahui betapa bervariasinya pandangan para pakar tentang hal yang sama, dalam hal ini  adalah tentang belajar. Dalam bidang pendidikan, yang praktiknya dipengaruhi oleh interaksi kompleks berbagai faktor, ada ruang bagi para pakar untuk saling tidak bersepakat tentang sesuatu (Sutama, 2005). Dalam kondisi seperti itu, kita harus mampu mengkaji pendapat para ahli dan mengambil keputusan.
            Persoalannya adalah, bagaimana pengkajian itu harus dilakukan. Jawabannya adalah pengkajian harus dilakukan melalui penelitian dengan menerapkan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah bersifat objektif, sistematis, dapat diuji, dan relatif tak terpengaruh oleh kepercayaan pribadi, pendapat, dan perasaan. Pendekatan ilmiah menggunakan metodologi yang handal yang dijadikan pijakan bagi pengambil keputusan.
            Tujuan utama penelitian ilmiah adalah menjelaskan berbagai fenomena, memahami hubungan antarfenomena, dan kemudian menggunakannya untuk memprediksi dan mempengaruhi perilaku (Sutama, 2005). Penjelasan dalam hal ini bermakna pengembangan dan pengujian teori tentang suatu fenomena. Penjelasan memberi informasi yang berkenaan dengan tiga tujuan praktis penelitian, yaitu: mendeskripsikan, memprediksi, dan mengontrol. Deskripsi memberi pengetahuan fundamental tentang sebuah fenomena dan biasanya diperlukan untuk melakukan eksplanasi atau prediksi. Sebelum suatu fenomena diprediksi berdasarkan fenomena yang lain, kedua fenomena itu harus dideskripsikan lebih dahulu.  Prediksi sangat penting bagi guru karena ia secara konstan harus membuat keputusan prediktif. Akhirnya, kontrol atas fenomena memberi informasi tentang hubungan sebab-akibat, suatu informasi yang sangat penting yang memberi penjelasan yang bermanfaat dalam berbagai situasi.
            Ada beberapa jenis penelitian yang dapat dipilih untuk dilakukan oleh guru berdasarkan tujuannya, yaitu: (1) penelitian dasar, (2) penelitian terapan, (3) penelitian evaluatif, dan (4) penelitian pengembangan. Peneltian dasar bertujuan untuk mengembangkan teori. Penelitian dasar dilakukan bukan dengan maksud menerapkan hasilnya dalam situasi praktis. Walaupun demikian, kontribusinya secara tak langsung untuk situasi praktis tetap ada. Penelitian terapan memiliki sasaran menguji teori dan ide lain dalam latar pendidikan. Fokusnya biasanya adalah masalah-masalah yang memerlukan pemecahan untuk mengembangkan praktik pendidikan. Hasilnya langsung dan segera dapat digunakan untuk mengambil keputusan pendidikan. Penelitian evaluatif diarahkan untuk mengambil keputusan tentang pelaksanaan suatu program: apakah program itu berjalan efektif atau sesuai standar pelaksanaan. Pada banyak kasus, penelitian evaluatif difokuskan pada masalah-masalah, seperti kurikulum mana yang mesti diterapkan, apakah suatu program baru dapat berjalan dengan baik.  Penelitian pengembangan bertujuan mengembangkan suatu produk. Produk dalam konteks pembelajaran bisa berupa model pembelajaran, buku ajar, modul, model evluasi, atau media pembelajaran.

 Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di antara Jenis-jenis Penelitian
            PTK telah  menjadi trend baru  sejak akhir tahun 90-an sampai sekarang, baik di kalangan mahasiswa LPTK maupun guru, lebih-lebih setelah dimulainya proses sertifikasi guru melalui portofolio, sampai-sampai ada yang beranggapan bahwa untuk mengikuti sertifikasi lewat penilaian portofolio guru harus memiliki laporan PTK. PTK adalah penelitian reflektif mandiri dan berdaur ulang yang dilakukan di dalam kelas dengan tujuan melakukan perbaikan terhadap sistem, cara kerja, proses, isi, kompetensi, atau situasi (Tantra, 2006).
Mungkin ada yang bertanya tentang di mana posisi PTK di antara jenis-jenis penelitian yang telah disampaikan sebelumnya.       Jika dilihat dari sisi tujuannya, PTK tergolong penelitian terapan. Dikatakan demikian karena PTK dilaksanakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang dihadapi oleh guru di kelas.
            Ada sepuluh karakteristik yang dimiliki oleh PTK (Syamsudin, 2006). Kesepuluh karakteristik itu adalah berikut ini. (1) Masalah yang dipecahkan merupakan masalah praktis yang dihadapi peneliti dalam kehidupan profesi sehari-hari. (2) Peneliti memberi perlakuan yang berupa tindakan yang terencana untuk memecahkan masalah itu. (3) Langkah-langkah penelitian yang direncanakan selalu dalam bentuk siklus atau berdaur ulang. (4) Adanya langkah berpikir reflektif dari peneliti, baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan tindakan. (5) Bersifat situasional kontekstual yang terkait dengan mendiagnosis dan memecahkan masalah dalam konteks tertentu. (6) Dilakukan secara kolaboratif, baik dengan sejawat, kepala sekolah, maupun dengan dosen LPTK. (7) Bersifat partisipatori, yakni masing-masing anggota tim ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan penelitiannya. (8) Bersifat self-evaluative, yakni peneliti melakukan evaluasi sendiri secara kontinyu untuk meningkatkan praktik. (9) Bersifat on the spot yang didesain untuk menangani masalah konkret yang ada di tempat itu juga, dan (10) Temuannya diterapkan segera.
            PTK dilakukan dengan melalui beberapa langkah. Langkah-langkah yang harus dilalui  adalah berikut ini. (1) Peneliti mengidentifikasi masalah yang dihadapinya dalam pembelajaran yang dilaksanakan di kelas. (2) Setelah masalah yang akan ditangani ditetapkan, peneliti merenungkan berbagai kemungkinan penyebab munculnya masalah itu. (3) Berdasarkan hasil diagnosis penyebab timbulnya masalah, dilakukan kajian tentang berbagai alternative pemecahan masalah itu. (4) Di antara beberapa alternatif pemecahan itu, dipilih satu sebagai tindakan yang akan diterapkan. (5) Berbagai persiapan dilakukan untuk melaksanakan tindakan itu, seperti merancang skenario tindakan dan instrumen pendukung implementasi skenario itu. (6) Tindakan dilaksanakan sambil dilakukan observasi terhadap pelaksanaannya dan efeknya. (7) Evaluasi dilakukan terhadap keberhasilan pelaksanaan tindakan dengan berbagai cara, dan (8) Hasil evaluasi direfleksikan untuk memastikan   perlu tidaknya modifikasi tindakan yang akan diterapkan pada siklus berikutnya dalam rangka mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan.
Jika kedelapan langkah di atas disederhanakan, maka sesungguhnya ada empat langkah penting dalam PTK, yaitu: (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) observasi dan evaluasi, dan (4) refleksi (Sukardi, 2004; Suyanto dkk, 2006).
            Jika dilihat dari tujuan pelaksanaan dan karakteristiknya, PTK memang perlu lebih diakrabi oleh para guru. Dengan PTK, guru akan dapat mengatasi masalah-masalah praktis yang dihadap dalam pembelajaran di kelas sekaligus melakukan inovasi dalam pembelajaran.

 Penelitian bagi Guru Profesional dalam Era Global
            Sebagaimana disadari bersama, arus globalisasi telah pula merambah dunia pendidikan dengan berbagai implikasi dan dampaknya, baik positif maupun negatif. Dalam konteks ini, tugas dan peranan guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan sangat penting. Untuk mengemban tugas itu, guru dituntut untuk lebih profesional. Guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehinga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan optimal (Kunandar, 2007). Guru profesional dituntut memiliki empat kompetensi, yaitu: kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial (Republik Indonesia, 2005). Kompetensi profesional memiliki dua subkompetensi, yaitu menguasai substansi keilmuan terkait bidang studi dan menguasai struktur dan metode keilmuan. Indikator subkompetensi kedua ini adalah menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan atau materi bidang studi. Lebih dari seperempat abad yang lalu (1979 -1984), pemerintah, melalui P2LPTK, mengemukakan bahwa seorang guru prefesional harus mampu memenuhi sejumlah syarat, yang satu di antaranya adalah mampu menjadi guru-peneliti (teacher-researcher) (Sumarsono, 2004). Berangkat dari tuntutan di atas, merupakan keharusan bagi guru profesional untuk melakukan penelitian, lebih-lebih dalam era global.

Penutup
            Memasuki era global, tuntutan pengembangan SDM semakin tinggi. Untuk memenuhi tuntutan itu, guru secara terus-menerus perlu melakukan inovasi dalam melaksanakan pembelajaran. Gagasan pembelajaran inovatif dapat diperoleh dari berbagai sumber, yaitu: pengalaman, para pakar, dan penelitian ilmiah.Dari ketiga sumber itu, sumber ketiga merupakan yang terbaik. Itulah sebabnya guru perlu melakukan penelitian, lebih-lebih dengan adanya tuntutan dimilikinya kompetensi profesional oleh seorang guru.


DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran.Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Leksono, Ninok. 2008. Rapat Virtual dan Cara Kerja Modern. Dalam KOMPAS, 026 (44): 1.
Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depatemen Pendidikan Nasional RI.
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sukardi.2004. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.
Sumarsono. 2004. Otonomi Pendidikan. Jakarta: Komisi Pendidikan KWI.
Suparno, Paul. 2004. Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sutama, I Made. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan (Buku Ajar Tidak Diterbitkan).
Suyanto, Kasihani K. dkk. 2006. Metodologi Penelitian Tindakan Kelas (Makalah Tidak Diterbitkan).
Syamsudin AR dan Damaianti, Vismaia S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tantra, Dewa Komang. 2006. Konsep Dasar dan Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Makalah Tidak Diterbitkan).





2 komentar: